-->
Motivasi Menulis
Bisnis Online

Presiden Utusan Partai

Presiden Utusan PartaiVictor Silaen - detikNews


Jakarta - Benarkah seorang presiden itu petugas partai? Pantaskah ia disebut demikian? Jawabannya dapat disimpulkan melalui pembahasan atas pertanyaan-pertanyaan berikut.

Apakah presiden bekerja karena diberi tugas oleh partai? Tidak. Presiden bekerja untuk negara, bangsa dan rakyat berdasarkan konstitusi, bukan berdasarkan partai. Presiden, sewaktu kampanye untuk meraih tiket orang nomor satu, memang mengedepankan visi-misi. Namun, visi-misi itu jelas tak boleh berbeda dan bertentangan dengan amanat Pembukaan UUD 45 dan UUD 45 itu sendiri.

Di Indonesia, presiden memang berasal dari partai. Namun, selekas sang presiden resmi dilantik, ia bukan lagi 'milik' partai melainkan 'milik' bangsa dan rakyat Indonesia. Itu sebabnya, selekas itu pula ia harus melepaskan keterikatannya pada partai dan menggantinya dengan keterbebanannya pada bangsa dan rakyat. Maka benarlah ucapan Presiden ke-35 Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy (1961-1963) ini: “My loyalty to my party ends, when my loyalty to my country begins.”

Dari perspektif kebahasaan, khususnya Bahasa Indonesia, mana yang lebih 'pas': Jokowi menjadi Presiden Indonesia 2014-2019 karena diberi tugas oleh partai atau karena diutus partai? Sejak 15 Oktober 2012 Jokowi adalah Gubernur DKI Jakarta, tapi sejak 20 Oktober 2014 ia menjadi Presiden RI. Secara logika, apakah perubahan status, pergantian jabatan dan peningkatan jebatan itu terjadi karena Jokowi melaksanakan tugas partai atau karena ia siap diutus partai lalu berjuang keras untuk meraihnya?

Bahasa, selain logika juga mementingkan rasa. Mau belajar logika dan rasa secara sekaligus, pelajarilah bahasa. Terkait Jokowi, mana yang lebih 'pas' dengan 'rasa' kita sebagai orang Indonesia, petugas partai atau utusan partai? Kalau Jokowi ditugaskan partai, itu berarti Jokowi harus tunduk pada ketua umum partai. Maka dengan sendirinya posisi Jokowi lebih rendah ketimbang sang ketua umum.

Namun jika Jokowi diutus partai, dalam konteks ini untuk memimpin Indonesia, maka Jokowi harus lebih menghiraukan suara rakyat daripada suara ketua umum partai. Apalagi faktanya, Jokowi menjadi presiden karena mendapatkan suara langsung dari rakyat Indonesia. Bahkan untuk menjadi calon presiden pun, kita tak boleh lupa, rakyat jugalah yang berperan besar dalam mendesak Ketua Umum PDI Perjuangan agar ihklas mengusung Jokowi.

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang banyak mengedepankan rasa. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, misalnya, panggilan penghormatan (honorifik) menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Apalagi jika kita sedang berkomunikasi dengan orang yang selayaknya dihormati karena usianya, ststusnya, kedudukannya, dan lain sebagainya. Presiden, misalnya, di negara ini kerap disebut sebagai "orang nomor satu". Makna di balik itu sangatlah jelas, bahwa presiden adalah orang yang sangat penting dan sangat layak dihormati – yang dalam Bahasa Inggris disebut “very very important person” (VVIP).

Maka, lagi-lagi terkait rasa berbahasa, layakkah presiden di negara ini disebut sebagai "petugas partai"? Apalagi secara konstitusional, sistem presidensial yang menjadi landasan sistem pemerintahan Indonesia juga mendukung peran sangat penting dan kekuasan sangat besar seorang presiden di negara ini. Cenderung executive heavy daripada legislative heavy. Maka jelas: presidenlah yang lebih 'pas' dipandang sebagai VVIP daripada ketua umum partai yang mengusungnya. Apalagi dalam Pilpres 2014 faktanya Jokowi bukan hanya didukung oleh satu partai, tetapi beberapa partai.

Pasca-pidato Megawati di Bali itu, tak dapat disangkal, merebaklah wacana publik yang menyoroti pidato Ketua Umum PDI Perjuangan itu. Tak dapat dimungkiri bahwa publik kecewa karena menganggap Presiden Jokowi saat itu dilecehkan oleh Megawati Soekarnoputri. Bahkan seniman Ratna Sarumpaet, dalam sebuah acara di salah satu stasiun teve swasta baru-baru ini, mengaku galau mendengar ucapan Megawati saat itu. Padahal, menurut Ratna, “Saya tidak memilih Jokowi dalam Pilpres 2014. Saya juga kecewa dengan kinerja Jokowi dalam memimpin Indonesia. Tapi bagaimanapun ia presiden kita yang harus dihormati.”

 Ini seharusnya menjadi masukan berharga bagi PDI Perjuangan. Tak perlu ngotot membela diri dan repot berargumentasi bahwa frasa "petugas partai" bagi Jokowi itu tak bermaksud melecehkan. Sebab, jika ini diteruskan, sangat mungkin dampaknya negatif bagi partai. Cepat atau lambat akan makin banyak orang yang kehilangan simpati kepada PDI Perjuangan. Untuk membuktikannya tak perlu menunggu Pileg dan Pilpres 2019 tiba, karena Pilada-pilkada serentak dalam waktu dekat ini niscaya menjadi barometernya.

Kita belum lupa bahwa frasa "petugas partai" bagi Jokowi pertama kalinya dicetuskan oleh Megawati dalam konteks menyongsong Pilpres 2014. Saat itu langsung saja frasa tersebut dijadikan 'mainan' oleh kubu pendukung Prabowo atau orang-orang yang tidak mendukung Jokowi.

Berikutnya, awal Februari 2015, giliran politisi PDI Perjuangan yang juga Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani yang menyebut Presiden Jokowi sebagai “petugas partai”. Waktu itu sebagian relawan pendukung Jokowi memunculkan wacana tentang pembentukan partai baru "ProJokowi" di mana Jokowi bakal bergabung di dalamnya. Menyikapi hal itu, Puan mengatakan bahwa yang jelas sekarang PDI Perjuangan masih bersama Jokowi dan Jokowi masih “petugas partai”.

Tak pelak, dunia maya pun langsung disesaki komentar bernada sumbang untuk Puan. Sebab faktanya Jokowi adalah atasan Puan di kabinet sekaligus presiden seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya, Jokowi menyebut Puan sebagai "pembantu saya" di kabinet? Meski itu benar, namun bisa dipastikan akan ada sejumlah orang yang menganggap Jokowi sombong.

Jadi, ke depan seharusnya frasa yang kesannya melecehkan Jokowi itu tidak disebut-sebut lagi di ruang-ruang publik, baik oleh pihak-pihak lain apalagi oleh orang-orang PDI Perjuangan sendiri. Seharusnya seluruh pihak memberikan penghormatan yang sewajarnya kepada Jokowi selaku presiden Indonesia yang sah.

Jokowi adalah utusan partai yang kini telah menjadi presiden sekaligus kepala negara. Namun jangan dilupakan, Jokowi dalam Pilpres 2014 dipilih oleh 53,16 persen pemilih, sedangkan partai pengusungnya (PDI Perjuangan) dalam Pileg 2014 hanya memperoleh 19,46 persen suara pemilih. Apa artinya? Jokowi menang lebih karena suara rakyat daripada suara orang-orang partai. Jokowi adalah pemimpin yang melampaui sekat-sekat partai. Ia milik semua golongan.

Maka, terkait juga dengan pernyataan Megawati dalam pidatonya di Bali bahwa Jokowi harus selalu segaris dengan kebijakan partai, itu pun layak dipersoalkan. Dalam arti, jika kebijakan partai tidak pro-kebenaran, keadilan dan kesejahteraan rakyat, mengapa Jokowi harus mengikutinya? Bukankah sebagai presiden ia seharusnya selalu mendengar aspirasi rakyat dan sebagai kepala negara ia seharusnya selalu segaris dengan tujuan negara yang tercantum dalam konstitusi?

Sekali lagi, biarlah ini menjadi masukan berharga bagi PDI Perjuangan, agar ke depan lebih bijaksana dalam melontarkan pernyataan-pernyataan politik yang terbuka di masyarakat. Selain harus bijaksana, biarlah pernyataan-pernyataan politik itu juga edukatif, apalagi bagi generasi muda. Seorang kepala negara adalah juga simbol negara, karena itu ia layak dihormati dan dijaga martabatnya.

*) Victor Silaen adalah Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan


(nwk/nwk)
Labels: Presiden Utusan Partai

Thanks for reading Presiden Utusan Partai . Please share...!

0 Komentar untuk "Presiden Utusan Partai "

Back To Top