Jakarta -Gaduh politik 2015 dan terorisme yang baru saja terjadi seolah-olah melupakan bahwa kita masih mempunyai pekerjaan rumah dan masalah ekonomi pada tahun ini sebagai kelanjutan dari tahun 2015 sebelumnya.
Bahkan apa yang terjadi pada tahun 2015 yang lalu tidak lain merupakan lanjutan dari masalah yang terjadi pada tahun sebelumnya, di mana ekonomi Indonesia terguncang karena nilai tukar merosot sampai 50% selama beberapa tahun terakhir ini.
Dua tahun sebelum pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berakhir, ekonomi Indonesia sebenarnya sudah berada dalam tekanan dari luar dan sekaligus tekanan dari dalam, akibat kelemahan sistem ekonomi kita sendiri.
Nilai tukar rupiah pada waktu itu berada pada kisaran Rp 9.000/dolar AS, secara berlanjut dari bulan ke bulan terus merosot nilainya sampai Rp 12.000/dolar AS ketika pemerintahan presiden SBY berakhir.
Pemerintahan berganti dengan harapan baru dan spirit baru, tetapi perbaikan sektor keuangan Indonesia tidak serta-merta membaik.
Perkembangan nilai tukar rupiah tetap merosot sampai menyentuh Rp 14.000/dolar AS.
Kemerosotan nilai tukar terjadi secara terus-menerus selama beberapa tahun terakhir ini, menandakan bahwa kebijakan ekonomi selama ini tidak dapat mengatasi permasalahan yang ada.
Akar masalahnya adalah, pengaruh gabungan faktor eksternal dan internal, yang menyebabkan penerimaan ekspor menurun drastis sehingga neraca perdagangan yang awalnya surplus menjadi negatif.
Akibatnya, neraca berjalan menjadi negatif lebih besar lagi dan mengalami tekanan sangat berat.
Kepercayaan terhadap rupiah otomatis menurun sehingga melemahkannya. Melihat kondisi ini, maka sedikit banyak kepercayaan terhadap pasar modal Indonesia juga menurun, yang diikuti oleh penurunan indeks maupun kapitalisasi pasar modal.
Tidak hanya itu, indikator perekonomian lainnya terpengaruh dan mengalami tekanan cukup berat sepanjang tahun 2015.
Tingkat pengangguran beranjak naik yang menandakan bahwa kesempatan kerja tidak tumbuh lebih baik sehingga tidak dapat menampung pertambahan tenaga kerja yang baru masuk ke pasar kerja.
Bahkan, tenaga kerja yang sudah tertampung di berbagai lapangan kerja ikut tergusur bersamaan dengan perlambatan tingkat pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor yang ada.
Tingkat kemiskinan juga meningkat selama tahun 2015, sehingga misi pemerintah pada tahun 2015 ini tidak terwujud.
Tingkat kesejahteraan golongan bawah mengalami penurunan karena dunia usaha, industri dan pabrik-pabrik mengalami tekanan ekonomi, termasuk sektor keuangan dan nilai tukar.
Akar masalah ada di dalam negeri, yakni kinerja ekspor terpukul karena gejolak ekonomi eksternal. Krisis awal yang memicu krisis selanjutnya adalah faktor kinerja ekspor.
Kebijakan ekonomi seyogyanya merujuk ke akar permasalahan ini sehingga dapat mengambil kebijakan ekonomi yang cepat, cermat dan lebih tuntas.
Penurunan ekspor nasional memukul hampir seluruh sektor ekonomi Indonesia dan masih terlihat sampai tahun 2015 ini.
Krisis APBN di mana penerimaan pajak sangat rendah tidak lain karena penerimaan dari perusahaan-perusahaan, yang intensif menjalankan ekspor mengalami masalah berat.
Penerimaan pajak terberat terjadi pada tahun 2015 ini, yang berdampak politik pengunduran diri dirjen pajak karena target yang dipatok secara politik tidak tercapai.
Nilai tukar tidak bisa dipertahankan karena defisit ekspor impor dan defisit neraca berjalan yang cukup parah akhir-akhir ini. Begitu juga kemiskinan dan pengangguran meluncur naik, tidak lain karena kinerja ekspor jatuh dan perusahaan eksportir mengalami kemunduran.
Jadi, sebaiknya kebijakan pemerintah difokuskan pada strategi pemulihan ekspor dan sekaligus investasi dengan cara deregulasi dan debirokratisasi sistem pendukungnya.
Titik lemah dari sistem perekonomian selama ini karena ekspor mengandalkan pada bahan mentah, yang kurang memiliki nilai tambah dan rentan gejolak eksternal.
Dari sini, krisis nilai tukar berkembang sehingga melemahkan rupiah selama tiga tahun terakhir ini. Karena itu, potensi ekspor lainnya dan ekspor bahan industri ditingkatkan secepat mungkin melalui strategi ekspor, industri dan investasi.
Krisis menyisakan bahkan memberikan peluang untuk mentransformasikan basis ekspor bahan mentah tersebut melalui strategi dan kebijakan industri, ekspor dan daya saing.
Langkah inilah yang segera harus dijalankan untuk mengeliminir kebobolan dan penurunan nilai ekspor selama tiga tahun terakhir ini.
Maka, deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan tidak harus banyak secara kuantitatif dan terkesan serabutan seperti yang dilakukan sekarang ini.
Kebijakan tersebut harus fokus pada dereregulasi dan debirokratisasi yang mendukung kebijakan ekspor, investasi dan daya saing. Praktek kebijakan seperti ini sudah dilakukan pada tahun 1980-an dan berhasil mengatasi krisis ekonomi, meskipun ada beberapa kelemahannya.
Untuk dapat melaksanakan kebijakan tersebut, maka diperlukan prasyarat sistem politik yang kondusif dan kepemimpinan yang kuat.
Terorisme yang masih muncul tahun 2016 harus segera ditumpas sehabis-habisnya sehingga tidak menyisakan kekhawatiran, ketakutan dan ketidakpercayaan.
Kegaduhan politik selama 2015 tidak dapat diteruskan lagi pada tahun 2016 ini. Presiden sudah saatnya mengambil langkah tegas setegas-tegasnya untuk fokus pada kebijakan ekonomi agar dapat mencapai visi dan misi yang diicanangkan.
Didik J Rachbini, Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Kepala LP3E KADIN
(drk/drk)
Bahkan apa yang terjadi pada tahun 2015 yang lalu tidak lain merupakan lanjutan dari masalah yang terjadi pada tahun sebelumnya, di mana ekonomi Indonesia terguncang karena nilai tukar merosot sampai 50% selama beberapa tahun terakhir ini.
Dua tahun sebelum pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berakhir, ekonomi Indonesia sebenarnya sudah berada dalam tekanan dari luar dan sekaligus tekanan dari dalam, akibat kelemahan sistem ekonomi kita sendiri.
Nilai tukar rupiah pada waktu itu berada pada kisaran Rp 9.000/dolar AS, secara berlanjut dari bulan ke bulan terus merosot nilainya sampai Rp 12.000/dolar AS ketika pemerintahan presiden SBY berakhir.
Pemerintahan berganti dengan harapan baru dan spirit baru, tetapi perbaikan sektor keuangan Indonesia tidak serta-merta membaik.
Perkembangan nilai tukar rupiah tetap merosot sampai menyentuh Rp 14.000/dolar AS.
Kemerosotan nilai tukar terjadi secara terus-menerus selama beberapa tahun terakhir ini, menandakan bahwa kebijakan ekonomi selama ini tidak dapat mengatasi permasalahan yang ada.
Akar masalahnya adalah, pengaruh gabungan faktor eksternal dan internal, yang menyebabkan penerimaan ekspor menurun drastis sehingga neraca perdagangan yang awalnya surplus menjadi negatif.
Akibatnya, neraca berjalan menjadi negatif lebih besar lagi dan mengalami tekanan sangat berat.
Kepercayaan terhadap rupiah otomatis menurun sehingga melemahkannya. Melihat kondisi ini, maka sedikit banyak kepercayaan terhadap pasar modal Indonesia juga menurun, yang diikuti oleh penurunan indeks maupun kapitalisasi pasar modal.
Tidak hanya itu, indikator perekonomian lainnya terpengaruh dan mengalami tekanan cukup berat sepanjang tahun 2015.
Tingkat pengangguran beranjak naik yang menandakan bahwa kesempatan kerja tidak tumbuh lebih baik sehingga tidak dapat menampung pertambahan tenaga kerja yang baru masuk ke pasar kerja.
Bahkan, tenaga kerja yang sudah tertampung di berbagai lapangan kerja ikut tergusur bersamaan dengan perlambatan tingkat pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor yang ada.
Tingkat kemiskinan juga meningkat selama tahun 2015, sehingga misi pemerintah pada tahun 2015 ini tidak terwujud.
Tingkat kesejahteraan golongan bawah mengalami penurunan karena dunia usaha, industri dan pabrik-pabrik mengalami tekanan ekonomi, termasuk sektor keuangan dan nilai tukar.
Akar masalah ada di dalam negeri, yakni kinerja ekspor terpukul karena gejolak ekonomi eksternal. Krisis awal yang memicu krisis selanjutnya adalah faktor kinerja ekspor.
Kebijakan ekonomi seyogyanya merujuk ke akar permasalahan ini sehingga dapat mengambil kebijakan ekonomi yang cepat, cermat dan lebih tuntas.
Penurunan ekspor nasional memukul hampir seluruh sektor ekonomi Indonesia dan masih terlihat sampai tahun 2015 ini.
Krisis APBN di mana penerimaan pajak sangat rendah tidak lain karena penerimaan dari perusahaan-perusahaan, yang intensif menjalankan ekspor mengalami masalah berat.
Penerimaan pajak terberat terjadi pada tahun 2015 ini, yang berdampak politik pengunduran diri dirjen pajak karena target yang dipatok secara politik tidak tercapai.
Nilai tukar tidak bisa dipertahankan karena defisit ekspor impor dan defisit neraca berjalan yang cukup parah akhir-akhir ini. Begitu juga kemiskinan dan pengangguran meluncur naik, tidak lain karena kinerja ekspor jatuh dan perusahaan eksportir mengalami kemunduran.
Jadi, sebaiknya kebijakan pemerintah difokuskan pada strategi pemulihan ekspor dan sekaligus investasi dengan cara deregulasi dan debirokratisasi sistem pendukungnya.
Titik lemah dari sistem perekonomian selama ini karena ekspor mengandalkan pada bahan mentah, yang kurang memiliki nilai tambah dan rentan gejolak eksternal.
Dari sini, krisis nilai tukar berkembang sehingga melemahkan rupiah selama tiga tahun terakhir ini. Karena itu, potensi ekspor lainnya dan ekspor bahan industri ditingkatkan secepat mungkin melalui strategi ekspor, industri dan investasi.
Krisis menyisakan bahkan memberikan peluang untuk mentransformasikan basis ekspor bahan mentah tersebut melalui strategi dan kebijakan industri, ekspor dan daya saing.
Langkah inilah yang segera harus dijalankan untuk mengeliminir kebobolan dan penurunan nilai ekspor selama tiga tahun terakhir ini.
Maka, deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan tidak harus banyak secara kuantitatif dan terkesan serabutan seperti yang dilakukan sekarang ini.
Kebijakan tersebut harus fokus pada dereregulasi dan debirokratisasi yang mendukung kebijakan ekspor, investasi dan daya saing. Praktek kebijakan seperti ini sudah dilakukan pada tahun 1980-an dan berhasil mengatasi krisis ekonomi, meskipun ada beberapa kelemahannya.
Untuk dapat melaksanakan kebijakan tersebut, maka diperlukan prasyarat sistem politik yang kondusif dan kepemimpinan yang kuat.
Terorisme yang masih muncul tahun 2016 harus segera ditumpas sehabis-habisnya sehingga tidak menyisakan kekhawatiran, ketakutan dan ketidakpercayaan.
Kegaduhan politik selama 2015 tidak dapat diteruskan lagi pada tahun 2016 ini. Presiden sudah saatnya mengambil langkah tegas setegas-tegasnya untuk fokus pada kebijakan ekonomi agar dapat mencapai visi dan misi yang diicanangkan.
Didik J Rachbini, Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Kepala LP3E KADIN
Labels:
Arah Ekonomi,
Di tengah,
Gaduh Politik dan Terorisme
Thanks for reading Arah Ekonomi di Tengah Gaduh Politik dan Terorisme. Please share...!
0 Komentar untuk "Arah Ekonomi di Tengah Gaduh Politik dan Terorisme"