Pewarta: Laily Rahmawati
Emil Salim. (ANTARA/Wildan Anjarbakti )
"Ayah saya bilang, auman itu artinya datuk menjaga kita."
Bogor (ANTARA News) -
"Pesan saya, selamatkan alam dan satwa ini." Untaian kalimat tersebut disampaikan pakar lingkungan hidup Emil Salim dalam penyerahan hadiah International Animal Photo Competition (IAPC) ke-25 di Taman Safari Indonesia (TSI), Bogor, Jawa Barat, Sabtu.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang pernah
menjadi Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup itu berulang kali
berpesan, agar masyarakat Indonesia menjaga alam dan satwa untuk tetap
lestari dan terlindungi habitatnya tanpa dirusak ataupun diganggu oleh
manusia.
Pria kelahiran Lahat, Sumatera Barat, pada 8 Juni 1930
itu mengatakan, deretan foto yang dihasilkan dalam lomba yang
diselenggarakan TSI tersebut mengartikan banyak hal, salah satunya
berkesan manusiawi, yakni foto ibu orang utan yang menggendong anaknya
penuh kasih.
Anggota dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden RI
(2007-2014) itu pun mengisahkan tentang petuah ayahnya dari Ranah
Minang, yang mengajarkan untuk melihat apa yang bisa dipelajari dari
alam dan disajikan Tuhan di hadapan kita.
"Ayah saya berkata, pandangi alam ini apa yang bisa dipelajari.
Beliau berkata dalam pepatang Minang Kabau, Alam Ta Kambang Jadi Guru,"
katanya, sambil mengartikan bahwa "alam yang terkembang adalah guru".
Dikisahkannya, ketika sang ayah bekerja sebagai pejabat di era
Pemerintahan Belanda yang saat itu hendak membangun jalan di wilayah
Sumatera Selatan.
Warga setempat pun berpesan kepada ayahnya,
agar jalur yang dibuat oleh manusia jangan sampai memotong jalan yang
dilalui oleh gajah.
Ia mengatakan, jalur yang dilalui oleh gajah itu merupakan jalan
untuk mencari makan. Gajah adalah hewan yang sangat menyukai durian.
Gajah makan duri durian, bukan isinya. Durian yang sudah dimakan oleh
gajah dikeluarkan lagi bersama kotorannya.
"Penduduk setempat pernah mengajak saya untuk mencari tumpukan
durian bekas makan gajah. Durian yang sudah tidak berduri itu, begitu
dimakan rasanya luar biasa enak. Sama seperti kopi yang dimakan oleh
luwak, harganya menjadi sangat mahal," tutur Emil.
Dari gajah, lanjut Emil, "Kita dapat belajar. Seperti pejabat
tinggi, apabila memakan durian sudah disuguhkan dengan kondisi terbuka,
dan tinggal menikmatinya. Begitu pula peran yang dilakukan gajah kepada
manusia, menyediakan durian yang sudah tidak berduri sehingga memudahkan
manusia menikmatinya."
Pelajaran berikutnya yang dipetik dari pengalaman hidup Emil adalah
ketika bermukim di pedalaman hutan.
Ia kerap mendengar suara harimau
yang mengaum di sekitar rumahnya. Lalu, sang ayah pun mengingatkannya
untuk tidak takut, karena berarti datuk --artinya kakek, dan sebutan orang Minang untuk harimau-- tengah menjaga kita.
"Ayah saya bilang, auman itu artinya datuk menjaga kita. Jadi, ada rasa kasih terhadap harimau," ujar suami Roza Salim, yang dinikahinya pada 1958.
Emil juga mengisahkan, ketika berusia 11 tahun, maka sebagai anak Minang diajarkan silat dan berguru kepada Guru Tora.
Guru
yang boleh mengajar adalah guru yang sudah lulus bersilat dengan
harimau. Untuk mendapatkan mandat mengajarkan silat, Guru Tora mencari
cara untuk melatih kemampuannya. Pelajaran yang diajarkan adalah harimau
selalu mencari bukit atau daerah tinggi untuk menyerang dari atas,
karena harimau tidak pernah menyerang dari bawah.
Untuk menaklukan harimau, menurut dia, tidak harus menggunakan
senjata tajam, pisau atau senjata yang dapat melukainya. Tetapi, Guru
Tora, melihat mata harimau, dan gerakan bahunya, ketika ada kilatan di
mata dan barunya terangkat, artinya harimau sudah siap untuk menerkam.
"Kalau sudah melihat kilatan itu, segera menunduk karena harimau
mulai menyerah. Saat itu juga guru saya mampu mengalahkan harimau karena
berhasil menendang kemaluannya. Dan, harimau itu tahu, kalau dia sudah
dikalahkan. Mengalahkan harimau tidak perlu menggunakan senjata, cukup
belajar dari gerak tubuhnya," tuturnya.
Emil juga menceritakan pelajaran alam lainnya yang kembali diperoleh
dari sang ayah, yakni cara bertahan hidup di hutan. Pada zaman Belanda,
ia belajar di hutan bersama ayah. Selama di hutan tidak ada makanan
yang bisa dibawa. Ayahnya berpesan, harus mencari makanan apa yang ada
di hutan.
Pesan ayahnya, ketika mencari makan siang hari kalau ada suara kera,
siamang, monyet atau sebangsanya ramai bersahut-sahutan itu adalah
petanda gerombolan satwa itu telah selesai makan. Hewan tersebut selalu
tinggi di area yang ada makanannya.
"Ketika kita menyusuri lokasi tempat suara kera itu berasal, maka
akan tampak tempat mereka selesai makan, tampak bekas-bekas buah yang
mereka makan," ujar doktor ekonomi lulusan University of California,
Berkeley, Amerika Serikat itu.
Ia menimpali, "Dan, apa yang
dimakan oleh satwa kera itu boleh dimakan oleh manusia. Kera mengajarkan
manusia, ketika kita lapar ikutilah suara ku, karena setelah aku makan.
kalian bisa makan agar kalian bisa bertahan."
Emil menegaskan, satwa yang diciptakan oleh Tuhan ada gunanya untuk
manusia, hewan adalah buku untuk manusia, begitu juga dengan alam yang
terkembang adalah guru bagi manusia. Isi alam, satwa, manusia, tumbuhan,
adalah buku yang mengajarkan manusia agar ia menjadi pandai.
Ia pun menyatakan, "Kalau kamu ke hutan lihat alam, lihat tumbuhan,
cari goresan kalimat Ilahi. Alam ciptaan Tuhan, goresan pena Tuhan. Kita
berada di alam yang merupakan tulisan Tuhan."
"Seperti kita
masuk ke TSI, melihat pohon, satwa-satwa bebas berlarian, ini bukti
bahwa mereka hidup. Dan, alam terkembang ini adalah buku agar kita
belajar," demikian Emil Salim.
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2015