Sesepuh anak putu Banakeling gelar semedi saat gerhana matahari
Reporter : Chandra Iswinarno

pengikut bonokeling. ©2013 Merdeka.com/Chandra Uwin

pengikut bonokeling. ©2013 Merdeka.com/Chandra Uwin
Merdeka.com - Bagi komunitas anak putu Banakeling di Desa Pekuncen, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, fenomena alam gerhana matahari yang terjadi pada 9 Maret 2016 disikapi dengan keprihatinan. Para sesepuh yang dituakan dalam komunitas adat tertua di Banyumas tersebut melakukan ritual semedi untuk mendoakan Nusantara agar terhindar dari ancaman bahaya.
"Saat gerhana matahari, sesepuh adat Banakeling berkumpul dan slametan di rumah kunci. Slametan tersebut melaksanakan tumpengan berupa kukusan nasi yang di dalamnya terdapat satu ekor ayam utuh," ujar juru bicara adat Desa Pekuncen Sumitro, Rabu (9/3).
Dia mengemukakan, semedi yang dilakukan oleh sesepuh komunitas adat tersebut biasanya dilakukan di kompleks pemakaman Banakeling yang berada di Desa Pekuncen. Masih menurut Sumitro, semedi tersebut merupakan respon dari pertanda yang selama ini menjadi kepercayaan adat tradisi Banakeling.
"Bagi anak putu Banakeling, gerhana matahari memiliki firasat atau pertanda khusus. Firasat tersebut bergantung pada bulan apa gerhana matahari tersebut terjadi," jelasnya.
Saat ini, lanjutnya, gerhana matahari yang terjadi pada tahun ini bisa dikatakan memiliki firasat huru hara. Karena itu, jelasnya, para sesepuh komunitas adat tersebut melakukan semedi.
"Kalau dalam tanggalan Jawa, gerhana matahari jatuh di bulan Jumadil Awal. Dalam ilmu titen menurut anak putu Banakeling, menandakan akan terjadi huru hara apalagi berdekatan dengan pasaran Jumat Kliwon. Sehingga, para sesepuh melakukan semedi di makam buyut dan memohon wilujeng kepada Yang Maha Kuasa," jelasnya.
Selain itu, kebiasaan membunyikan lesung atau bebunyian saat gerhana pada saat terjadi gerhana matahari kali ini tidak dilakukan. Menurut Sumitro, gerhana matahari yang terjadi pada 9 Maret 2016, masih terlihat cahaya terang.
"Sehingga tidak membunyikan kotekan atau lesung atau benda lain yang mengeluarkan bunyian nyaring. Tetapi, kalau gerhananya menyebabkan gelap gulita, biasanya warga membunyikan alat seperti kentongan dan peralatan rumah tangga yang nyaring," ujarnya.
"Saat gerhana matahari, sesepuh adat Banakeling berkumpul dan slametan di rumah kunci. Slametan tersebut melaksanakan tumpengan berupa kukusan nasi yang di dalamnya terdapat satu ekor ayam utuh," ujar juru bicara adat Desa Pekuncen Sumitro, Rabu (9/3).
Dia mengemukakan, semedi yang dilakukan oleh sesepuh komunitas adat tersebut biasanya dilakukan di kompleks pemakaman Banakeling yang berada di Desa Pekuncen. Masih menurut Sumitro, semedi tersebut merupakan respon dari pertanda yang selama ini menjadi kepercayaan adat tradisi Banakeling.
"Bagi anak putu Banakeling, gerhana matahari memiliki firasat atau pertanda khusus. Firasat tersebut bergantung pada bulan apa gerhana matahari tersebut terjadi," jelasnya.
Saat ini, lanjutnya, gerhana matahari yang terjadi pada tahun ini bisa dikatakan memiliki firasat huru hara. Karena itu, jelasnya, para sesepuh komunitas adat tersebut melakukan semedi.
"Kalau dalam tanggalan Jawa, gerhana matahari jatuh di bulan Jumadil Awal. Dalam ilmu titen menurut anak putu Banakeling, menandakan akan terjadi huru hara apalagi berdekatan dengan pasaran Jumat Kliwon. Sehingga, para sesepuh melakukan semedi di makam buyut dan memohon wilujeng kepada Yang Maha Kuasa," jelasnya.
Selain itu, kebiasaan membunyikan lesung atau bebunyian saat gerhana pada saat terjadi gerhana matahari kali ini tidak dilakukan. Menurut Sumitro, gerhana matahari yang terjadi pada 9 Maret 2016, masih terlihat cahaya terang.
"Sehingga tidak membunyikan kotekan atau lesung atau benda lain yang mengeluarkan bunyian nyaring. Tetapi, kalau gerhananya menyebabkan gelap gulita, biasanya warga membunyikan alat seperti kentongan dan peralatan rumah tangga yang nyaring," ujarnya.
[cob]