-->
Motivasi Menulis
Bisnis Online
Menuntut BUMN tekan kemiskinan wujudkan Nawacita

Menuntut BUMN tekan kemiskinan wujudkan Nawacita

Menuntut BUMN tekan kemiskinan wujudkan Nawacita
Presiden Joko Widodo (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Jakarta (ANTARA News) - Di antara keprihatinan Presiden RI Joko Widodo saat memperingati 71 tahun Indonesia merdeka, di Istana Merdeka, Jakarta, adalah belum tuntasnya janji negara untuk hadir mengatasi kemiskinan, pengangguran dan kian tingginya kesenjangan sosial, mengingat sebagian besar rakyat masih berada di bawah ambang garis kemiskinan.

Masalah tersebut, kata Presiden Joko Widodo, sudah menjadi prioritas kerja sejak Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahhman Wahid, Megawati, hinggga Susilo Bambang Yudhoyono. Namun semua kerja keras setiap presiden tampaknya belum optimal diwujudkan, khususnya menurunkan tingkat kesenjangan sosial di masyarakat.

Oleh karenanya, pekerjaaan besar bangsa Indonesia kini dan masa depan, menuntaskan pengurangan kemiskinan hingga tidak terjadi jurang yang terus menganga antara si miskin dan kelompok berada. Padahal para pendiri kemerdekaan telah berpesan seperti tertuang dalam Pasal 34 UUD 1945, "fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara".

Dimuatnya pasal itu dikarenakan para pendiri sadar, kemiskinan dan pengangguran itu pasti akan terjadi di masyarakat. Oleh karenanya, negara wajib hadir mengentaskan mereka dari kemiskinan, jangan sebaliknya, membiarkan atau membuat kebijakan hingga memiskinkan orang seperti penggusuran yang dilakukan semena-mena atas nama negara.

Biro Pusat Statistik (BPS) dalam laporan terbaru Maret 2016 menyebutkan, jumlah penduduk miskin, dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan mencapai 28,01 juta jiwa atau sebesar 10,86 persen dari total jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa.

Jumlah penduduk miskin lebih banyak tingggal di perdesaan, per Maret tahun ini mengalami kenaikan 0,02 persen menjadi 14,11 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya. Lonjakan kemiskinan di daerah perdesaan disebabkan kian tergerusnya nilai tukar petani (NTP) jika dibanding dengan nilai tukar produk industri (NTPI), khususnya produk teknologi tinggi.

Di masa silam, satu ekor sapi sudah dapat ditukar, misalnya, dengan dua sepeda motor merek Honda. Sekarang, seorang petani yang punya lima ekor sapi, belum tentu bisa menukarnya dengan satu buah mobil Avanza. Harga produk petani terus tergerus, sementara produk industri terus naik menanjak. Itu yang menyebabkan mengapa semua Presiden RI tampak belum mampu bekerja secara optimal, khususnya dalam memerangi kemiskinan, pengangguran dan kesenjanagan sosial.

Presiden Joko Widodo seyogianya tidak perlu risau, karena hampir semua presiden tampaknya belum mampu menurunkan angka kemiskinan pada level di bawah 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sejak Orde Lama, Orde Baru hingga pascareformasi, jumlah kemiskinan relatif stabil permanen di digit ganda dari jumlah penduduk Indonesia.

Zaman Orde Baru, Presiden ke-2 RI Soeharto mencoba meningkatkan NTP petani lewat pengekangan impor produk pertanian dan melindungi produk lokal. Usaha itu ada hasilnya meskipun belum sepenuhnya berhasil lantaran pihak asing tidak suka dengan kebijakan presiden hingga dia dipaksa turun tahta, didahului dengan penandatangan Lembaga Keuangan Internasional/IMF dengan pemerintah Indonesia tentang larangan proteksi berbagai barang lokal.

Itu sebabnya, Presiden Joko Widodo dalam pidato politiknya, di hadapan MPR, DPR dan DPD, belum lama ini ingin memutus rantai kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial lewat optimalisasi peran badan usaha milik negara (BUMN). Lembaga itu diharapkan mampu berperan aktif dalam meningkatkan investasi, khususnya pembangunan di kawasan terluar, terpinggir atau perdesaan sebagai program unggulan dalam Nawacita pemerintah.


Membangun dari Pinggiran 

Program Nawacita Presiden Joko Widodo seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, di antaranya mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Maksud Joko Widodo, kemandirian ekonomi Indonesia tidak mungkin diserahkan kepada pihak swasta. Namun, peran BUMN-lah yang diharapkan mampu mengimplementasikan sembilan program Nawacita, antara lain membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam negara kesatuan.

Itu sebabnya, pidato kenegaraan itu secara khusus Joko Widodo menegaskan, pemerintah terus mendorong pembangunan infrastruktur, terutama pembangunan di wilayah marjinal.

Tahun 2016 ini, investasi BUMN ditargetkan sebesar Rp410,2 triliun, di dalamnya terdapat 62 proyek strategis dengan nilai proyek sebesar Rp347 triliun. Target nilai investasi BUMN akan dinaikkan setiap tahunnya, sehingga jumlah nilai investasi akan mencapai Rp764 triliun hingga akhir tahun 2019.

Presiden dalam kaitan ini mempercayakan Menteri Negara BUMN Rini Mariani Soemarno, mantan Wakil Presiden komisaris PT United Tractor dan Komisaris Bursa Efek Jakarta, untuk memenuhi target tersebut. Bagi Rini yang lahir di Maryland, Amerika Serikat, 9 Juni 1958 tidak terlalu sulit, mengingat jaringan dan pengalaman bisnis selama ini cukup lengkap.

Untuk membangun berbagai infrastruktur di daerah terluar, ia tidak hanya mengandalkan kemampuan dana BUMN dan APBN semata, tetapi juga menjaring para investor asing melakukan investasi di Indonesia. China dan Jepang, saat ini menjadi mitra baik dalam ikut mewujudkan Nawacita Presiden, karena dalam waktu tiga tahun terakhir, kedua negara sudah menginvestasikan sekitar 2,1 miliar dolar AS.

Di luar dua negara itu tentu diharapkan masih banyak lagi pihak asing berinvestasi ke Indonesia, tetapi masalahnya jangan sampai BUMN hanya jadi penonton saat korporasi asing melanglang buana ke wilayah Nusantara.

(Y005/M026)
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Nawacita adalah kita

Nawacita adalah kita

Nawacita adalah kita
Pengamat Politik dan Dewan Pengawas LKBN ANTARA, Bonny Hargens (ANTARA News/Grafis)
Tahun 2011, Osama bin Laden dikabarkan tewas dalam serangan 40 menit di kota Peshawar, Pakistan oleh pasukan khusus antiteror militer Amerika Serikat. Seluruh media di dunia memberitakan kejadian besar itu.

Di Jerman sendiri, berita kematian Osama memunculkan turbulensi politik di tubuh pemerintahan Kanselir Angela Merkel. Pasalnya, Merkel mengeluarkan pernyataan yang dinilai oleh kelompok oposisi ketika itu (Partai Sosialis/SPD dan Partai Kiri/die Linke Partei) sebagai bentuk ketidakpedulian moral.

"Ichfreuemichdaruber, da esgelungenist Osama Bin Laden zutoten," kata Merkel dalam sebuah wawancara dengan televisi ZDF. Kurang lebih artinya begini: "Saya senang karena Osama bin Laden sudah berhasil dibunuh".

Dalam demokrasi Jerman, sebagaimana umumnya di negara makmur, isu moral adalah isu utama. Karena pernyataannya, Merkel dicerca oposisi sebagai pemimpin yang lemah saraf moral.

Saya tidak mau menilainya berlebihan. Reaksi Merkel adalah reaksi yang manusiawi. Saya yakin tiap hati yang terluka oleh aksi terorisme merasakan hal yang sama.

Betul, bahwa Osama adalah juga manusia yang pada dirinya melekat secara inheren seperangkat hak dasar yang mesti dihargai.

Namun, terorisme adalah kejahatan yang merusak ruang hidup dan meleburkan dimensi luhur dari peradaban tertentu.

Pretensi tulisan ini bukan soal terorisme "ansich", melainkan soal bagaimana manajemen konflik di tubuh pemerintahan. Secara mengejutkan, Merkel sukses mengatasi turbulensi yang sempat menurunkan popularitasnya.

Hubungan CDU, sebagai partai berkuasa dengan SPD sebagai oposisi bahkan berkembang ke arah yang positif. Usai Pemilu 2013, SPD justru berkoalisi dengan CDU mendukung periode ketiga pemerintahan Merkel.

Bagaimana itu bisa terjadi?
Ada beberapa hal yang saya amati. Pertama, sosok Merkel sendiri yang cerdas, kalem, dan populis. Merkel memang dikritik lemah dalam politik dalam negeri dan kuat dalam politik luar negeri. Tapi, Merkel sebetulnya sosok yang ramah dan dekat dengan rakyat.

Ia menyapa rakyatnya secara langsung.

Kedua, komunikasi politik pemerintah terorganisasi secara sistemik dan cenderung menghindari konflik terbuka di media.

Ketiga, masyarakat politik Jerman yang rasional adalah modal yang kuat dalam menjamin adanya stabilitas politik. Konflik elite dipahami secara rasional dan proporsional oleh publik.

Bagaimana dengan kita?
Sudah setahun lebih pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla melewati badai dan batu karang. Tantangan politik yang serius dari parlemen dan dari internal partai pendukung sempat menyurutkan optimisme, namun pada akhirnya terselesaikan juga.

Meski guncangan politik begitu kuat, pemerintah terus merealisasikan Nawacita yang menjadi arah dasar pemerintahan.

Kunci keberhasilan adalah sosok Jokowi sendiri. Seperti Merkel, Jokowi adalah pemimpin yang cerdas dan santun. Lebih dari itu, ia adalah pekerja. Gerakan yang cepat berkombinasi dengan semangat populisme yang membumi menjadikan Jokowi sebagai magnet tunggal dari pemerintahan ini.

Ia berhasil melemahkan serangan politik dari lawan dan pada saat yang sama mampu merebut hati rakyat.

Namun, keberhasilan Jokowi mesti didukung oleh sistem secara keseluruhan. Lingkaran dalam (inner cycle) yang mencakup Wakil Presiden dan para menteri, mesti seirama dan berlari dengan kecepatan yang sama.

Kisruh antarmenteri dalam kabinet hari ini menjadi pertanyaan tersendiri. Yang jelas, Presiden tidak terlibat sama sekali meski harus memikul tanggung jawab atasnya. Kisruh ini jelas menodai citra pemerintahan.

Namun, jauh ke dalam, kita tahu kisruh itu mutlak tidak berkaitan dengan kepemimpinan Jokowi. Keributan antarmenteri adalah bagian dari dinamika revolusi mental di tubuh kabinet.

Ada menteri yang berlari begitu cepat mengikuti irama presidennya, sementara ada menteri yang enggan berlari karena kakinya terbelenggu oleh ke pentingan terselubung.

Kabinet adalah sistem terbatas yang dibentuk untuk membantu Presiden dalam mewujudkan visi dan misi kepemimpinannya. Maka, anggota kabinet harus seiya sekata dengan Presidennya. Soliditas dan sinergitas adalah prasyarat dasar yang harus dipegang para menteri dalam bekerja.

Koordinasi ada di tangan Presiden. Tidak boleh ada pihak lain yang merampas hak prerogatif presiden dalam konteks ini.

Para menteri mesti sadar, dalam Nawacita terkandung banyak harapan. Harapan untuk menjadi Indonesia yang hebat. Hebat dalam segala matra.
Nawacita seharusnya menjadi semangat bersama. Nawacita bukan saja soal cita-cita pembangunan Jokowi yang secara prinsipil merupakan bentuk operasional dari Trisakti Soekarno (Olly Dondokambey, 2015).

Nawacita adalah roh perubahan yang mestinya menjelma menjadi roh bersama yang menyatukan seluruh kelompok, gagasan, dan kepentingan demi terwujudnya pembangunan untuk semua.

Dengan kata lain, Nawacita adalah nyawa kita. Para pembantu Presiden mesti menyadari ini. Berbeda itu biasa. Bertengkar pun biasa.

Tapi, jangan bertengkar di jalan. Konflik mesti diselesaikan di internal kabinet sebagai bentuk respek terhadap Presiden dan dukungan terhadap stabilitas pemerintahan. Kalau tidak, Nawacita bakal mati justru di tangan para pembantu Presiden sendiri.

*) Penulis adalah pengamat politik dan Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA

Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Pak Jokowi, Menghentikan Kriminalisasi KPK Itu Sesuai dengan Nawa Cita

Pak Jokowi, Menghentikan Kriminalisasi KPK Itu Sesuai dengan Nawa Cita

Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews

Pak Jokowi, Menghentikan Kriminalisasi KPK Itu Sesuai dengan Nawa Cita
Jakarta - Kabareskrim Polri Komjen Budi Waseso menegaskan bahwa proses hukum Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Denny Indrayana, hingga Tempo terus berlanjut. Padahal Presiden Jokowi sudah berulang kali meminta kriminalisasi dihentikan.

Masyarakat dari berbagai elemen kemudian mencoba menyuarakan tuntutan supaya ada langkah konkret untuk menyelesaikan masalah. Presiden Jokowi pun diminta mengambil langkah yang lebih tegas lagi supaya roda pemerintahan tak terhambat.

"Mestinya Presiden Jokowi harus melakukan tindakan nyata, dan kita tahu Jokowi itu dipilih rakyat. Apa pun tindakannya untuk penanganan kasus korupsi itu sesuai Nawa Cita dengan cara menghentikan kriminalisasi itu sesuai Nawa Cita dengan mewujudkan lembaga negara yang bersih dan supaya KPK-Polri bisa jalan sejalan lagi," tutur sosiolog UGM Arie Sujito saat berbincang, Jumat (20/3/2015).

Salah satu butir dari Nawa Cita berbunyi, 'Kami akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya'. Butir itu dikutip oleh Arie untuk menggarisbawahi bahwa ada kalanya intervensi dilakukan sebagai upaya mereformasi sistem.

"Yang disebut intervensi untuk tujuan positif dalam menata lembaga negara itu dibutuhkan. Yang tak boleh kalau intervensi itu merusak, tapi kalau menyelamatkan itu positif. Kalau ketegangan berlarut dan KPK akan roboh itu justru kontraproduktif. Mumpung belum telat lebih jauh, kualitas Jokowi itu dibutuhkan," ungkap Arie.

Dia menekankan bahwa ketika perintah Presiden untuk menghentikan kriminalisasi tak diindahkan, maka ada otoritas dari kepala pemerintahan yang dimiliki. Presiden Jokowi bisa saja memberikan perintah yang lebih konkret selain sekedar meminta hentikan kriminalisasi.

(bpn/jor)
Revisi PP Remisi Harus Sejalan dengan Program Nawacita Jokowi

Revisi PP Remisi Harus Sejalan dengan Program Nawacita Jokowi

Mega Putra Ratya - detikNews

 Revisi PP Remisi Harus Sejalan dengan Program Nawacita Jokowi
Jakarta - Kemenkum HAM tengah menggodok revisi PP 99/2012 tentang remisi para narapidana. Revisi tersebut nantinya harus sejalan dengan program Nawacita Jokowi, terutama terkait penguatan pemberantasan korupsi.

"Dari sisi substansi, PP 99/2012 memang masih mengandung beberapa kelemahan. Namun, penguatan atau penyempurnaan terhadap PP tersebut harusnya mengarah pada penguatan pemberantasan korupsi dan bukan sebaliknya," ujar peneliti dari PSHK Miko Ginting saat berbincang, Jumat (19/3/2015).

Revisi PP 99 ini, lanjut Miko, nantinya apabila diimplementasikan akan dapat menjadi ukuran soal sejauh mana komitmen Pemerintahan Jokowi-JK memenuhi Nawacitanya. Salah satu poin penting yang dimuat dalam Nawacita adalah komitmen terhadap penguatan pemberantasan korupsi.

"Ini hanya salah satu dari beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran komitmen Pemerintahan Jokowi-JK dalam pemberantasan korupsi. Ukuran-ukuran lain dapat dilihat dari bagaimana Jokowi-JK menyelesaikan permasalahan pelemahan terhadap KPK, penyidikan beritikad jahat terhadap pimpinan dan penyidik KPK serta aktivis antikorupsi, dan lain sebagainya," ungakpnya.

Menurut Miko permasalahan terkait pemberantasan korupsi memang menumpuk. Namun, justru dalam tumpukan itu komitmen Jokowi-JK akan terlihat dan diuji. Pemerintahan Jokowi-JK seharusnya berapa dalam arus yang sama untuk menguatkan pemberantasan korupsi.

"Intinya, kabinet dibentuk untuk mewujud-nyatakan visi dan misi Presiden. Dalam Nawacitanya, Jokowi sudah mencantumkan komitmen penguatan pemberantasan korupsi. Setiap wacana maupun tindakan dari pembantu Presiden mesti dalam rangka mewujudkan visi-misi Presiden," tutupnya.
Sebelumnya Seskab Andi Widjajanto mengatakan belum ada pembahasan di tingkat kabinet mengenai revisi PP remisi tersebut. Namun Presiden Jokowi mendukung untuk pengetatan pemberian remisi.

"Pada dasarnya Pak Jokowi mendukung dan minta Menkum HAM untuk siapkan langkah yang dilakukan termasuk pengetatan sistem pemberian remisi," kata Andi.
(mpr/kff)
Nawacita Jokowi Hanya Dipahami Sedikit Menteri

Nawacita Jokowi Hanya Dipahami Sedikit Menteri

, CNN Indonesia
Nawacita Jokowi Hanya Dipahami Sedikit Menteri Sejumlah menteri bersiap sebelum acara Pelantikan Menteri Kabinet Kerja di Istana Negara, Jakarta, Senin, 27 Oktober 2014. Presiden Joko Widodo melantik 34 Menteri dan dua Wakil Menteri. (CNN Indonesia/Safir Makki)
 
Jakarta, CNN Indonesia -- Politisi PDIP Masinton Pasaribu menilai masih sedikit jumlah menteri punggawa Kabinet Kerja Jokowi-JK yang benar-benar paham arti dan perwujudan nawacita.

"Dalam 100 hari kerja, ga ada gelora nawacita. Cuma ada beberapa menteri saja seperti Susi, tapi secara umum pemerintahan belum menampakan sisi nawacita itu sendiri," ujar Masinton dalam acara Diskusi Publik Mengawal Nawacita di Newseum Cafe Jakarta, kemarin.

Namun ia menilai masih samar dan belum jelas terlihat menteri mana saja yang mampu memahami konsep ini sehingga dapat berjalan beriringan dengan visi misi Jokowi-JK.

"Masih jadi pertanyaan menteri mana saja yang paham konsep ini. Kalau tidak paham, menteri tidak akan bisa berjalan beriringan," lanjutnya.

Senada dengan Masinton, pengamat politik Boni Hargens mengatakan memang ada beberapa menteri yang terlihat belum memahami konsep dan perwujudan Nawacita seutuhnya.

Ia juga menilai bahwa ada beberapa menteri yang tidak seirama dengan Jokowi dalam mewujudkan Nawacita.

"Ada menteri yang kecepatannya masih tertinggal dari Jokowi dalam mewujudkan revolusi mental," ucap Boni.

"Ada ombak dan karang yang dijumpai. Namun masih normal dan berjalan baik sejauh ini," lanjutnya.

Nawacita adalah sembilan program yang digagas Jokowi ketika mencalonkan diri sebagai presiden. Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. (pit)
Back To Top