-->
Motivasi Menulis
Bisnis Online
Gapki : pajak sawit Prancis berdampak terhadap ekspor

Gapki : pajak sawit Prancis berdampak terhadap ekspor

Gapki : pajak sawit Prancis berdampak terhadap ekspor
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) periode 2015-2018 Joko Supriyono (ANTARA FOTO/HO/Arifin)

Jakarta (ANTARA News) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan bahwa rencana Prancis untuk menerapkan pajak tambahan atas minyak sawit sebesar 90 Euro per ton, hanya akan memberikan sedikit dampak terhadap ekspor Indonesia namun hal tersebut merupakan bentuk diskriminasi.

"Dampak langsung terhadap ekspor tidak besar, akan tetapi ribut dengan Prancis ini akan mempengaruhi negara yang lain. Bagi kami pengenaan tax berapapun besarannya terhadap palm oil merupakan diskriminasi," kata Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono, saat melakukan kunjungan ke Kantor Berita Antara di Jakarta, Kamis.
Joko mengatakan, rencana Prancis untuk menarik pungutan tersebut khusus bagi minyak sawit yang tidak memenuhi kriteria kelestarian lingkungan. Namun, menurut Joko ,definisi terkait dengan kriteria kelestarian lingkungan tersebut masih belum jelas.

"Lagi-lagi, non-sustainable itu tidak jelas maksudnya apa. Sebenarnya jika kita lihat regulasi Indonesia itu sudah masuk dalam kriteria kelestarian lingkungan. Jika perusahaan Indonesia sudah mengikuti aturan tersebut maka sudah memenuhi kriteria kelestarian lingkungan," kata Joko.

Selain itu, lanjut Joko, negara lain seperti Rusia juga berencana untuk menetapkan "Import Tax" minyak sawit sebesar 200 dolar Amerika Serikat per ton. 

"Isunya seperti itu, sekarang kita sedang komunikasikan dengan pihak Rusia," kata Joko.

Parlemen Prancis menyetujui pengenaan pajak tambahan atas minyak sawit yang digunakan dalam makanan mulai tahun 2017 mendatang. Tambahan pungutan tersebut bertujuan untuk merefleksikan potensi kerusakan lingkungan oleh perkebunan kelapa sawit dan pajak yang disepakati adalah sebesar 90 Euro atau 102 dolar AS per ton.

Bahkan sebelumnya, pada Undang-Undang Keanekaragaman Hayati yang akan berlaku di awal 2017 tersebut, pemerintah Prancis akan mengenakan pajak atas minyak kelapa sawit dan turunannya sebesar 300 Euro per ton pada 2017. Selanjutnya, pajak tersebut naik menjadi 500 Euro per ton pada 2018, meningkat kembali menjadi 700 Euro per ton pada 2019, dan menjadi 900 Euro per ton pada 2020.

Langkah Prancis tersebut sudah mendapatkan protes dari Indonesia selaku produsen terbesar untuk kelapa sawit. Pemerintah menyatakan bahwa pajak minyak kelapa sawit yang diatur dalam Amandemen No.367 dan diadopsi oleh Majelis Tinggi Legislatif Perancis dianggap melanggar prinsip-prinsip World Trade Organization (WTO) dan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) Tahun 1994.

Pajak minyak kelapa sawit yang diatur dalam Amandemen No.367 dan diadopsi oleh Majelis Tinggi Legislatif Perancis pada 21 Januari 2016 tersebut, ditengarai akan melanggar prinsip perlakuan nasional dan nondiskriminasi WTO dan GATT Tahun 1994. 

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Dubes Prancis : pajak sawit masih proses diskusi parlemen

Dubes Prancis : pajak sawit masih proses diskusi parlemen

Dubes Prancis : pajak sawit masih proses diskusi parlemen
Corrine Breuze. (YouTube)
 Anggota parlemen masih mendisuksikan dan belum ada keputusan yang diambil terkait rancangan UU ini karena harus dimusyawarahkan dalam Majelis Nasional pada 15 Maret mendatang,"

"Anggota parlemen masih mendisuksikan dan belum ada keputusan yang diambil terkait rancangan UU ini karena harus dimusyawarahkan dalam Majelis Nasional pada 15 Maret mendatang," kata Dubes Corinne usai penandatanganan Deklarasi Bersama Program Nusantara di Gedung Dikti Senayan, Jakarta, Selasa.

Dubes Corinne mengatakan Pemerintah Indonesia dan Prancis masih bisa berdiskusi terkait rencana penetapan pajak yang terdapat dalam rancangan undang-undang tentang keanekaragamanhayati ini sebelum diputuskan usai rapat Majelis Nasional Prancis pada 15 Maret mendatang.

Menurutnya, alasan pemerintah Prancis memberlakukan pajak progresif terhadap semua produk olahan sawit adalah untuk menyetarakan terhadap pajak produk minyak lainnya seperti minyak zaitun dan bunga matahari.

Selan itu, pajak minyak sawit juga dinilai terlalu rendah apalagi melihat penanamannya yang merusak ekosistem dan menyebabkan deforestasi.


Dubes juga membantah bahwa penerapan pajak ini diberlakukan hanya untuk Indonesia.

"Keputusan ini bukan untuk Indonesia saja, tetapi untuk negara mana pun penghasil minyak sawit," kata dia.
Sebelumnya rancangan undang-undang tentang keanekaragaman hayati ini telah diputuskan senat Prancis pada 21 Januari.

Dalam RUU tersebut, terdapat rencana penetapan pajak untuk produksi sawit yang mulai berlaku pada 2017 dengan rincian 300 euro per ton untuk 2017, 500 euro per ton untuk 2018, 700 euro per ton untuk 2019 dan 900 euro per ton pada 2020.
Saat ini Indonesia sebenarnya sudah dibebankan pajak minyak sawit sebesar 103 euro per ton.

Khusus untuk minyak kelapa sawit yang digunakan untuk produk makanan, RUU tersebut menetapkan adanya tambahan bea masuk sebesar 3,8 persen. Sedangkan untuk minyak kernel yang digunakan untuk produk makanan akan dikenakan bea masuk 4,6 persen.

Indonesia melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian akan melakukan upaya diplomasi pada pemerintah Prancis terkait RUU ini. 
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Indonesia tolak rencana pajak sawit oleh Prancis

Indonesia tolak rencana pajak sawit oleh Prancis

Indonesia tolak rencana pajak sawit oleh Prancis
Arif Havas Oegroseno. (kemlu)
 Dalam RUU tersebut, ditempelkan adanya pajak untuk produksi sawit yang mulai berlaku pada 2017 dengan rincian 300 euro per ton untuk 2017, 500 euro per ton untuk 2018, 700 euro per ton untuk 2019 dan 900 euro per ton pada 2020. Padahal sekarang saja 

Jakarta (ANTARA News) - Indonesia menolak keras rencana penetapan pajak progresif untuk semua produk berbasis minyak kelapa sawit oleh Prancis.

Deputi I Bidang Kedaulatan Maritim Menko Kemaritiman Arif Havas Oegroseno dalam diskusi terbatas bersama wartawan di Jakarta, Senin, mengatakan rencana penetapan pajak tersebut terdapat dalam rancangan undang-undang tentang keanekaragaman hayati yang diputuskan senat Prancis pada 21 Januari.

"Dalam RUU tersebut, ditempelkan adanya pajak untuk produksi sawit yang mulai berlaku pada 2017 dengan rincian 300 euro per ton untuk 2017, 500 euro per ton untuk 2018, 700 euro per ton untuk 2019 dan 900 euro per ton pada 2020. Padahal sekarang saja kita sudah kena pajak minyak sawit 103 euro per ton," katanya.
Khusus untuk minyak kelapa sawit yang digunakan untuk produk makanan, RUU tersebut menetapkan adanya tambahan bea masuk sebesar 3,8 persen. Sedangkan untuk minyak kernel yang digunakan untuk produk makanan akan dikenakan bea masuk 4,6 persen.

Setelah 2020, lanjut Havas, pajak tersebut akan dinaikkan secara tahunan yang ditentukan oleh Kementerian Keuangan Perancis.

"Anehnya, pajak itu tidak ditetapkan pada biji rapa, bunga matahari dan kedelai atau minyak nabati yang diproduksi di Prancis. Kami anggap ini langkah diskriminatif terhadap produk Indonesia yang produsen terbesar sawit," imbuhnya.
Menurut Havas, senat Prancis menilai kebijakan pajak sawit itu dilakukan untuk membantu memerangi deforestasi dan kerusakan ekosistem.

Pajak itu juga digunakan untuk menghilangkan pestisida berbahaya (parakuat) yang diklaim dipakai di kebun sawit seluruh dunia.

Pajak tersebut, juga rencananya digunakan untuk menghilangkan bahaya kesehatan seperti serangan jantung dan alzheimer yang disebut-sebut disebabkan oleh produk minyak sawit.

"Kami sudah sampaikan keberatan ke pemerintah Prancis melalui Dubes Prancis dalam pertemuan siang tadi. Kami juga telah membahas masalah ini dengan Malaysia yang juga merupakan inisiator Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC)," ujarnya.


Indonesia keberatan

Havas menjelaskan, pihaknya telah menyampaikan sejumlah alasan keberatan atas rencana penerapan pajak terhadap produk berbasis minyak kelapa sawit.

Alasan pertama, yakni bahwa Prancis, Denmark, Inggris, Belanda dan Jerman telah menandatangani perjanjian Amsterdam yang menyebutkan bahwa kelima negara tersebut mendukung praktik minyak kelapa sawit berkelanjutan.

"Jadi di satu sisi mereka mendukung kita, tapi di sisi lain parlemen Prancis justru memberikan hukuman ke kita dengan pajak yang tinggi," katanya.

Havas, atas nama pemerintah Indonesia, juga menilai rencana pengenaan pajak tersebut diskriminatif lantaran produk minyak nabati produksi Prancis justru tidak diberikan pajak yang sama.

"Ini pelanggaran dalam kewajiban WTO juga terhadap perjanjian GATT 1994, juga bertentangan dengan aturan pasar Uni Eropa," katanya.

Havas juga menjelaskan, Indonesia telah memiliki Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang mendorong produksi sawit berkelanjutan dan prolingkungan hidup.

"Ini tidak masuk akal karena pemerintah sudah melakukan upaya deforestasi. Pemerintah juga punya tindakan tegas terhadap perusahaan sawit yang terlibat dalam kebakaran hutan kemarin. Bahkan CIFOR, lembaga pengawas hutan, menyebut hanya 10 persen dari kebakaran hutan kemarin itu soal sawit," ujarnya.

Terkait penggunaan pestisida parakuat, Havas menilai alasan tersebut tidak valid. Pasalnya, penggunaan parakuat telah lama dihapuskan.

Ada pun terkait alasan kesehatan, ia menuturkan klaim tersebut tidak benar berdasarkan hasil riset lembaga Prancis, Credoc.

"Yang lebih ironis, jika pajak ini benar-benar diberlakukan, dananya akan ditransfer ke social security funds untuk mensubsidi petani dan masyarakat Perancis. Ironis sekali karena petani sawit miskin Indonesia nantinya akan memberi jaminan sosial bagi orang Perancis," katanya.

Oleh karena itu, Havas menjelaskan, bersama Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian akan melakukan upaya diplomasi pada pemerintah Prancis.

Bersama Malaysia dalam keanggotaan CPOPC, Indonesia juga akan melakukan diplomasi meminta rencana tersebut ditarik kembali.

"Jadi 15 Maret mendatang akan diputuskan RUU ini. Dari senat ke kongresnya. Tapi sebelum itu kita punya waktu untuk melakukan diplomasi dan menyampaikan posisi kita," pungkasnya. 
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Back To Top