-->
Motivasi Menulis
Bisnis Online
Buya Maarif: Cagub perseorangan jadi introspeksi parpol

Buya Maarif: Cagub perseorangan jadi introspeksi parpol

Buya Maarif: Cagub perseorangan jadi introspeksi parpol
Buya Syafii Maarif. (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)
 Saya rasa partai politik (parpol) harus instrospeksi diri sendiri mengapa rakyat suka memilih yang independen, mengapa bukan calon partai,"

Yogyakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buya Ahmad Syafii Maarif, menegaskan bahwa fenomena pencalonan gubernur melalui jalur perseorangan semestinya menjadi bahan instrospeksi partai politik (parpol) terhadap fungsi yang dimiliki.

"Saya rasa partai politik (parpol) harus instrospeksi diri sendiri mengapa rakyat suka memilih yang independen, mengapa bukan calon partai," katanya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis.
Pendiri Maarif Institute itu mengemukakan, munculnya dukungan terhadap calon kepala daerah dari jalur perseorangan dapat dimaknai sebagai penanda bahwa fungsi parpol sebagai penyalur aspirasi rakyat sudah tidak jalan.

Selain itu, menurut dia, praktik politik transaksional juga turut menjadi penghambat tujuan utama partai sebagai pilar utama demokrasi.

"Politik transaksional sudah mewabah, itu salah satu penyakit demokrasi kita," ujarnya.

Oleh sebab itu, ia menilai, untuk menjalankan fungsi sebagai pilar demokrasi, maka partai harus dapat memberikan pendidikan politik untuk anggotanya.

Pimpinan pusat parpol, menurut dia, juga perlu memberikan peluang partai di daerah untuk mandiri tanpa banyak dicampuri seperti dalam konteks pemilihan kepala daerah.

Buya Maarif menegaskan, langkah yang ditempuh Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), untuk maju dalam Pemilihan Gubernur DKI 2017 melalui jalur perseorangan adalah konstitusional dan tidak perlu dipermasalahkan.


"Langkah Ahok sah-sah saja. Sah menurut Undang-Undang (UU) dan Mahkamah Konstitusi (MK) juga membolehkan," demikian Ahmad Syafii Maarif.
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Parpol Sengaja Pilih Tunda Pilkada Daripada Kalah

Parpol Sengaja Pilih Tunda Pilkada Daripada Kalah

Pilkada Serentak (Ilustrasi)
Pilkada Serentak (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani menilai strategi sebagian partai politik untuk menunda pemilihan kepala daerah (pilkada) sangat dimungkinkan. Terlebih, di beberapa daerah, parpol melihat adanya kesia-siaan untuk mengusung calon kepala daerah karena lawan yang dihadapi superior.
Jadi, strategi parpol yang melihat pilkada hanya akan didominasi oleh incumbent, dilakukan dengan penguluran waktu pelaksanaan pilkada hingga 2017. “Kalau hanya ada calon tunggal lalu dimolorkan ke 2017, peluang itu dimungkinkan, sehingga peluang itu dimanfaatkan beberapa partai yang kalau mengusung sia-sia,” kata Muzani di kompleks parlemen Senayan, Senin (10/8).
Muzani menambahkan, sejak awal sudah disepakati bahwa ini pilkada serentak. Apapun yang terjadi, harus dilaksanakan, meskipun dengan lawan bumbung kosong. Namun, KPU tidak mengatur itu. KPU justru mengatur soal penundaan kalau hanya pasangan calon tunggal. Hasilnya, KPU sekarang kelabakan sendiri. Ini menunjukkan KPU sebenarnya tidak siap.
Ada juga masalah lain, di calon kepala daerahnya sendiri. Gerindra, kata anggota komisi I DPR RI ini, sejak awal sebenarnya sudah selesai soal pencalonan kepala daerah di seluruh daerah. Namun, di perjalanan, calon yang didukung Gerindra tidak ingin maju mendaftar. Artinya, persoalan bukan hanya ada di parpol, tapi juga di calon kepala daerah. Jadi, kesuksesan pilkada bukan hanya ditentukan oleh parpol, tapi juga oleh calon yang didukung parpol dan penyelenggara.
“Ketiganya harus bersinergi,” imbuh Muzani.
Gerindra, kata Muzani, ingin tetap mengajukan calon di daerah yang berpotensi hanya ada pasangan calon tunggal. Namun, hal itu bukan perkara gampang. Sebab, menyangkut konsistensi keputusan partai. Menurut Muzani, tidak mudah untuk mengubah nama calon yang sudah diusung. Selain itu, untuk mengusung nama calon, Gerindra juga butuh dukungan dari partai lain. “Butuh parpol lain, karena jumlah kursi kami tanggung, kurang sedikit, harus ditambah parpol lain,” tegas Muzani. 


Reporter : Agus Raharjo
Redaktur : Indira Rezkisari
Anggota NasDem: Partai politik harus aktif berantas korupsi

Anggota NasDem: Partai politik harus aktif berantas korupsi

Reporter : Muchlisa Choiriah
Anggota NasDem: Partai politik harus aktif berantas korupsi
Ilustrasi Partai Politik. ©2014 Merdeka.com


Merdeka.com - Ketua Badan Advokasi Hukum (BAHU) Partai NasDem, Taufik Basari mengatakan setiap partai bisa memberikan kontribusi yang aktif kepada bangsanya. Salah satu peran yang bisa dilakukan adalah pemberantasan korupsi.

"Partai memberi kontribusi yang positif bagi bangsa, yaitu bagaimana bisa berperan aktif pemberantasan korupsi," ujar Taufik saat diskusi 'Bersama Melawan Korupsi' yang diselenggarakan oleh BAHU Partai NasDem di Gedung Joang 45, Jakarta, Sabtu (18/4).

Dia menambahkan, partai politik merupakan wadah untuk memberikan memperbaiki keadaan bangsa serta menjadikan Indonesia bersih dari korupsi, bukan malah menjadi wadah berdirinya korupsi.

"Partai politik jangan sampai menjadi sekolah atau fasilitator. Itu bikin merusak bangsa ini!" ucapnya.
Lanjutnya, partai politik jangan menjadi wadah bagi orang yang mempunyai niat buruk hanya untuk memperkaya diri sendiri mencari kekuasaan dengan korupsi, yang ketika berhasil akhirnya menggerogoti bangsa ini.

Wacana Negara Santuni Parpol, Ridwan Kamil: Setuju! Biar Enggak Merekayasa Dana

Wacana Negara Santuni Parpol, Ridwan Kamil: Setuju! Biar Enggak Merekayasa Dana

Baban Gandapurnama - detikNews

Wacana Negara Santuni Parpol, Ridwan Kamil: Setuju! Biar Enggak Merekayasa Dana
Bandung - Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (Emil) setuju dengan wacana parpol disantuni negara setiap tahunnya. Namun apakah dananya sebesar Rp 1 triliun per parpol seperti yang diusulkan Mendagri Tjahjo Kumolo, Emil tak tahu.

"Enggak masalah. Saya setuju!" ucap Emil di Balaikota Bandung, Jalan Wastukancana, Jumat (13/3/2015).

"Kenapa setuju? Biar parpol nanti enggak ngarang-ngarang lagi cari dananya dengan cara-cara kurang baik. Daripada mencari duit enggak jelas, nanti merekayasa APBD demi operasional, kan susah," ujar Emil menambahkan.

Menurut Emil, eksistensi parpol sangat penting dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Dia menyatakan, politik bagian dari maju atau tidaknya bangsa ini.

"Saya enggak bisa komen (soal Rp 1 triliun tiap parpol), karena karena besar kecil itu relatif. Tapi parpol bisa dibiayai, saya setuju," tutur Emil.

(bbn/ern)
Di 2014, Jumlah Kepala Daerah yang Jadi Tersangka Korupsi Naik dan Ini Afiliasi Politiknya

Di 2014, Jumlah Kepala Daerah yang Jadi Tersangka Korupsi Naik dan Ini Afiliasi Politiknya

Rini Friastuti - detikNews

Jakarta - Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan adanya afiliasi yang terjadi antara kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi dengan beberapa partai politik tertentu. Untuk tahun 2014, ICW menemukan 43 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi dan terafiliasi dengan parpol.

"Sepanjang 2014, ada 43 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. Mereka terafiliasi dengan parpol, baik sebagai kader partai tertentu, bisa juga diusung oleh koalisi parpol," ujar anggota divisi investigasi dan publikasi ICW, Lais Abid dalam pemaparannya di hadapan ketua DPD di kantor DPD DPR RI, Senayan, Selasa (12/3/2015).

Dalam analisa trend pemberantasan korupsi ICW, sebanyak 17 kepala daerah tersangka korupsi terafiliasi kepada partai Golkar. Sementara 13 kepala daerah terafiliasi kepada partai Demokrat.

"Selain terafiliasi kepada dua partai tersebut, ditemukan juga 6 kepala daerah tersangka korupsi terafiliasi dengan PKS, 5 orang dengan PDIP dan 4 orang kepala daerah tersangka korupsi dengan PPP, Partai Nasdem, dan PBB," jelasnya.

ICW menyimpulkan, sepanjang tahun 2014, total 43 orang kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi. Kondisi ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya sebanyak 35 kepala daerah.

Tak hanya itu, tahun 2014 juga terjadi peningkatan status tersangka korupsi dalam tubuh pegawai instansi. Trend anggota DPRD yang menjadi tersangka kasus korupsi ‎cenderung naik dibandingkan tahun 2013.

"Ada 81 orang anggota DPRD yang menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang tahun 2014 dan 1 orang anggota DPR-RI. Khusus jumlah tersangka berasal dari DPRD meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 60 orang," kata Tama S Langkun, anggota divisi investigasi dan publikasi ICW.

Melalui sejarah penanganan kasus dugaan korupsi, ICW menilai adanya pengawalan kinerja penegak hukum di daerah. Beberapa diantaranya adalah dengan memastikan kasus dugaan korupsi yang sudah berjalan‎ tidak berhenti di tengah jalan, dan menjembatani komunikasi dan koordinasi penegak hukum.

"Selain itu juga mendorong perbaikan sistem pengawasan ‎ perencanaan keuangan di pemerintah daerah dan mendorong DPRD meningkatkan pengawasan baik di internal maupun proses pengelolaan anggaran dan proses pembangunan di daerah," tutup Tama.


(rni/ndr)

Back To Top