-->
Motivasi Menulis
Bisnis Online
Resensi buku - Keajaiban "Al-Quran dan rahasia umur 40 tahun

Resensi buku - Keajaiban "Al-Quran dan rahasia umur 40 tahun

Al-Quran (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)
Jakarta (ANTARA News) - "Life begins at 40" sudah menjadi kalimat yang demikian akrab. Namun siapa sangka jika faktanya tidak semua orang paham maksud ungkapan tersebut.

Bahkan banyak orang yang memahami "Life Begins at Forty" sebatas wujud kematangan seseorang secara ekonomi, karier, dan seterusnya.

Dr John Gerry dari Queens University mengatakan ungkapan "Life Begins at Forty" merupakan perkataan yang sangat multitafsir.

Hal-hal unik secara keilmuan dan agama itulah yang kemudian dikemas dalam buku berjudul: Al-Quran dan Rahasia Umur 40 Tahun.

Buku terbitan Mentari Media di Depok, Jawa Barat, itu ditulis oleh Erna Rasyid Taufan dan memuat berbagai temuan salah satunya bahwa perkembangan otak manusia ternyata tidak akan berhenti sampai usia 40 tahun.

Buku yang terbit pertama pada Juni 2016 itu berisi 8 bab yang berisi ulasan tentang Al Quran dan Keajaiban Umur 40 Tahun.

Erna mengaitkan usia 40 tahun dengan kematangan seseorang dalam bersyukur yang ditekankan kepada orang tua tanpa melupakan keturunan.

Usia 40 tahun juga berarti menjadi penanda seseorang untuk memperbaharui tobat sehingga buku ini dilengkapi dengan ayat-ayat Al Quran termasuk Asbabu Nuzul ayat surat Al Ahqaf 15 berikut tafsir doa Al Ahqof.

Pada halaman selanjutnya buku setebal 336 itu berkisah tentang insting kematian, tanda-tanda orang akan masuk neraka menjelang ajalnya, tanda-tanda psikologi calon penghuni neraka, dan tanda-tanda perbuatan calon penghuni neraka.

Pada halaman 239 buku itu juga memuat tentang tanda-tanda keyakinan penghuni neraka, kisah-kisah jasad calon penghuni neraka, dan terakhir tentang tanda-tanda orang akan masuk surga dan 19 tanda kematian yang mulia (husnul khotimah).

Erna kemudian mengaitkan kematangan seseorang dalam meyakini perbuatannya itu dengan misteri yang tersembunyi pada usia 40 tahun.


Waktu Ashar


Pada halaman 29 buku disebutkan bahwa jika seseorang belum mencapai usia 40 tahun kemungkinan ia masih bisa diombang-ambingkan oleh suasana dan belum mantap dalam pendirian serta perilaku.

"Seseorang yang sudah mencapai usia 40 tahun ibarat waktu sudah masuk ashar, dimana teriknya matahari sudah berkurang, matahari sudah akan terbenam, seumpama kita menjemur pakaian tidak akan kering, sudah senja dan sesaat lagi akan masuk waktu magrib," tulis Erna.

Buku ini sekaligus berisi ajakan untuk berhati-hati bagi siapapun yang menjelang mencapai usia 40 tahun karena jika amal ibadahnya tidak unggul mengalahkan amal keburukannya maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.

Dikisahkan pula dalam buku tersebut tentang Imam asy-Syafii yang tatkala mencapai usia 40 tahun, ia berjalan dengan memakai tongkat.

Saat ditanya kenapa, ia menjawab "Agar aku ingat bahwa aku adalah musafir. Demi Alloh, aku melihat diriku sekarang ini seperti seekor burung yang dipenjara di dalam sangkar. Lalu burung itu dilepas di udara, kecuali telapak kakinya yang masih melekat dalam sangkar. Keadaanku sekarang seperti itu juga".

Sang penulis Erna Rasyid Taufan yang merupakan istri Walikota Pare-Pare, Sulawesi Selatan itu mencuplik ayat-ayat Al Quran misalnya tentang perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dan ketika sudah mencapai usia dewasa yakni usia 40 tahun, dimana ini adalah usia seorang manusia yang telah mencapai kematangan berpikir dan bertindak.

Buku itu berusaha untuk mengungkap keajaiban Al Quran tentang umur 40 tahun yang banyak dianggap sebagai batas usia yang istimewa.

Umur 40 bahkan dianggap penuh misteri dan rahasia karena pada umur itu menjadi awal kenabian ketika pertama Rasulullah menerima wahyu dari Alloh.

Menurut Erna, umur 40 tahun adalah bilangan umur yang tercatat dalam Al Quran bahkan banyak dinarasikan oleh Rosulullah dalam hadist-hadistnya.


Berusaha Menjawab

Buku itu memilih judul yang sangat menarik: Al-Quran dan Rahasia Umur 40 Tahun, sayangnya rangkaian bab di dalamnya hingga penutup belum sepenuhnya mampu menjawab pesan yang ada di dalam judul.

Rasa penasaran pembaca akan adanya misteri dalam umur 40 tahun memang dicoba untuk terus dijawab namun penulis belum juga mampu mengungkapnya hingga buku berakhir.

Beberapa typo juga masih dijumpai di sejumlah halaman dan penggunaan kata-kata baku beberapa terabaikan.

Namun, di luar itu buku ini layak menjadi referensi yang membesarkan hati dan mendekatkan diri kepada Alloh.

Tuntutan doa yang terselip di dalamnya bermanfaat bagi mereka yang ingin mendapatkan referensi doa sehari-hari.

Buku itu juga tampak sudah berupaya untuk membuka optimisme pembaca agar tidak berkecil hati ketika memasuki usia 40 tahun.

Buku juga menjadi semakin menarik lantaran ditulis oleh seorang istri Walikota yang penuh dengan kesibukan.

Hingga kemudian buku ini menjadi layak untuk dibaca oleh siapapun yang ingin memetik manfaat dari tindakan selalu mendekatkan diri pada Alloh di usia yang istimewa 40 tahun.
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Resensi buku - Art & Jung ; Seni Dalam Sorotan Psikologi Analitis Jung

Resensi buku - Art & Jung ; Seni Dalam Sorotan Psikologi Analitis Jung

Resensi buku -  Art & Jung ; Seni Dalam Sorotan Psikologi Analitis Jung


Jung adalah anak laki-laki satu-satunya dari sebuah keluarga yang unik. Ayahnya, Paul Jung adalah pendeta dan menggemari dunia mistik.

Jung mengaku lebih dekat dengan ayahnya karena ibunya, Emilie, merupakan perempuan problematik dengan dua kepribadian.

Di satu sisi ibunya adalah sosok yang realistis, praktis dan hangat. Di sisi lain emosinya kadang tidak stabil, pikirannya penuh mistik dan kasar.

Di kemudian hari, sifat dualisme dari kedua orang tuanya itu digunakan Jung untuk menerangkan berbagai teorinya. Jung menjadi tokoh besar dalam dunia ilmu jiwa yang pemikiran, teori dan pandangannya masih dipelajari di bangku-bangku sekolah dan kuliah di berbagai belahan dunia.

Kisah hidup Jung dan lahirnya pemikiran baru mengenai ulasan ilmu jiwa dan seni dibahas dalam buku "Art & Jung" yang ditulis Buntje Harbunangin.

Sekilas dari judulnya, buku ini mengulas tentang hubungan seni dan teori yang dilahirkan Jung atau mengulas tentang seni dikaitkan dengan psikologi. Melalui buku ini, Buntje mengajak pembaca memahami seni dari sisi Psikologi Analitis Jung.

Buntje yang lahir di Pangkal Pinang 30 Januari 1957 memiliki latar belakang psikologi. Dia menamatkan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) pada 1982.

Lantas mengapa mengulas seni dan Jung? Ya karena Jung adalah ilmuwan yang dinilai paling banyak mengulas hubungan antara psikologi dan seni.

Untuk menjelaskan mengenai isi dari buku ini, Buntje mengulas profil Jung mulai dari kehidupan masa kecil, keluarga dan hari-hari menjalani profesinya di rumah sakit, hubungannya dengan Sigmund Freud, pengembangan bakat seni hingga sisi gelap hubungannya dengan seorang pasien di rumah sakit. Semua disajikan secara populer agar bisa dipahami semua kalangan.

Pada dasarnya buku baru terbitan Antara Publishing ini dibagi atas dua babak. Babak pertama menerangkan secara ringkas konsep dasar teori Jung.

Psikologi Analitis. Namun tidak semua teori Jung disajikan karena selain terlalu luas, Buntje perlu memilih konsep yang sesuai dengan tujuan buku ini; Seni dan Jung.

Babak kedua buku ini lebih menekankan pada teori dengan contoh-contoh karya sastra, lukisan, film dan karya seni lainnya untuk menjelaskan seni dan Jung.

Sebelum memasuki babak kedua, pada Bab II penulis menyajikan sebuah sinopsis dari film berjudul "A Dangerous Method", sebuah film drama produksi tahun 2011.

Dalam Bab III, pembaca akan berkenalan dengan Carl Gustav Jung lewat biografinya. Dari biografi ini akan diketahui masa-masa ketika persahabatannya dengan Freud mulai renggang dan akhirnya seperti seutas tali, putus di tengah perjalanan Jung untuk menjadi seorang tokoh psikoanalis pengganti Freud.

Pada Bab IV, pembaca mulai menyelami alam pikiran Jung tentang kesadaran dan ketidaksadaran, baik personal maupun kolektif. Di bab ini akan ditinjau berbagai universalitas yang sering dijumpai di berbagai ras dan kultur.

Sedangkan Bab V mengupas tentang arketipe beserta arti dan penjelasannya serta beberapa contoh yang dilengkapi ilustrasi dan ekspresinya dalam karya seni. Bab VI mengupas tipologi dari Jung. Tipologi ini perlu dibahas karena ada hubungannya dengan seni.

Babak kedua buku ini dimulai dari Bab VII yang membahas tentang psikologi dan seni. Inti dari bab ini adalah mendiskusikan tentang proses kreatif yang ada ketika seorang seniman bekerja. Sedangkan Bab VIII adalah bab yang menarik karena bercerita tentang Jung sebagai seniman.

Akan terlihat bahwa sebagai orang yang memiliki "Art Complex", Jung mencoba menolak disebut sebagai seniman, walaupun pada akhirnya mengakui juga kesenimanannya. Rangkaian tersebut disusun mengalir dan dengan bahasa yang lugas menjadikan buku ini layak untuk dibaca oleh semua kalangan.

Debu KrakatauBuntje dalam salah satu bagian mengajak khalayak pembaca mencermati kehidupan keluarga Jung di bidang seni saat Jung masih kecil.

Ayah Jung sering memamerkan karya-karya seni kepada Jung. Salah satunya yang Jung ingat adalah lukisan matahari terbenam yang dibuat dari debu erupsi Gunung Krakatau di Selat Sunda.

Jung kecil juga suka menyelinap di kamar kerja ayahnya. Dia bisa berlama-lama memandang lukisan David dan Goliath serta sebuah lukisan pemandangan di Basel.

Keluarga Jung adalah keluarga bermartabat dan terpelajar, namun dengan keuangan yang terbatas. Karena itu dia kuliah di Universitas Basel dengan pertimbangan lebih ekonomis.

Keinginan belajar Jung berubah terus dan akhirnya menekuni ilmu kedokteran yang diselesaikan tahun 1900.

Jung kemudian bekerja sebagai asisten psikiater Eugene Bleuler di Rumah Sakit Jiwa Burgholzli, Zurich.

Sampai suatu waktu, Jung bertemu dengan Freud. Mulanya Jung adalah sahabat dan murid Freud, penemu psikoanalisa. Hubungan mereka pernah begitu erat. Begitu erat dan dekatnya hingga perbedaan antarmereka sekecil apapun malah menjadi jelas.

Setelah sekian tahun membongkar dan menyoroti berbagai kelemahan psikoanalisa, Jung kemudian merumuskan dan melahirkan teori baru bernama "Analytical Psychology" atau Psikologi Analitis. 
"Jung yakin bahwa cara kita berpikir, keputusan yang kita ambil, bahkan nasib kita tidak hanya ditentukan satu hal: seks," kata Buntje.

Teori Freud bahwa seks yang menegendalikan hidup setiap orang tidak dapat Jung terima. Jung berpendapat sebagian atau seluruh perilaku ditentukan pula oleh pengalaman emosional.

"Jung tidak menolak mentah-mentah seluruh pandangan Freud terutama tentang ketidaksadaran. Jung hanya mengatakan bukan hanya itu," kata Buntje.

Perlawanan Jung terhadap Freud adalah keberanian intelektual luar biasa. Pada masa itu, sekitar tahun 1912, Freud dan psikoanalisa sangat dominan.

Diakui banyak juga tokoh lain yang mengkritik psikoanalisa, namun psikoanalisa ibarat kucing hitam yang diusir lewat pintu, lalu masuk kembali lewat jendela.

Sebagai psikiater, Jung juga punya minat dan mendalami arkeologi, filasafat, filologi dan seniman. Dia adalah contoh yang nyaris sempurna dari teorinya sendiri tentang bagaimana seseorang dikendalikan oleh sebuah kompleks. Dalam diri Jung, kompleks itu berupa "Art Complex".

Dia pematung dan pelukis yang produktif dan lukisannya sebagian besar masuk kategori dekoratif.

Setiap lukisan Jung kaya dengan simbol-simbol esoteris dan mitologis, bukan hanya Barat tetapi juga Timur. Hal ini tidak mengherankan mengingat Jung adalah seorang pengelana yang pernah bertualang ke Amerika Utara, Tibet, Tiongkok, Jepang, India, Mesir dan Afrika Utara.

Bukan Ilmu
Seni pada hakekatnya bukan ilmu dan ilmu pada dasarnya bukanlah seni. Jangan mencoba mencampuradukkan keduanya dan jangan pula memosisikan seni sebagai bagian dari cabang ilmu. Demikian pula sebaliknya, jangan mencoba memosisikan ilmu sebagai bagian atau cabang dari seni.

Karena itu, ketika berbicara tentang hubungan psikologi dengan seni, seharusnya hanya mengurus aspek seni yang dapat dikaji melalui penelitian psikologi yang cermat, tanpa mencoba memasuki hakekat seni itu. Bagi Jung, yang dapat diungkapkan seorang psikolog tentang seni adalah terbatas pada proses kreatif.

Proses yang terjadi dalam diri seniman ketika sedang menciptakan karya seni. Psikolog tidak akan dapat berbicara apa-apa tentang esensi yang paling dalam dari seni.

Seorang psikolog harus tahu dan membatasi diri dengan hanya boleh menerangkan atribut psikologis dari sebuah proses penciptaan karya seni.

Seorang psikolog tidak berusaha menerangkan bagaimana pelukis memutuskan objek dan tema, menyusun komposisi, memilih dan mencampur warna. Psikolog tidak bertugas menerangkan seni itu sendiri.

Kenyataan lain adalah tidak selamanya psikologi dapat menerangkan kepribadian seniman berdasarkan karyanya. Tidak selalu sebuah karya seni mencerminkan kepribadian pembuatnya.

Menurut Jung, dalam diri seniman selalu ada dualisme. Di satu sisi adalah manusia dengan kehidupan personal, di sisi lain ia adalah sebuah proses kreatif yang impersonal. Sebagai manusia biasa, seseorang dapat dijelaskan dengan istilah-istilah psikologi. Namun sebagai seniman, ia hanya dapat dijelaskan dari prestasi kreatifnya.
"Bagi kita yang sudah lebih dulu akrab dengan Psikoloanalisa dari Freud, mempelajari Psikologi Analitis dari Jung ibarat mengganti kacamata dari lensa minus menjadi progresif. Perlu penyesuaian beberapa lama," kata Buntje.

Mengingat bahwa Jung pernah menjadi murid Freud, tentu akan dijumpai beberapa kesamaan. Di antaranya pembagian kesadaran dan ketidaksadaran yang mempengaruhi perilaku. Perbedaan yang prinsipil adalah Jung menambahkan ketidaksadaran kolektif yang bersumber dari pengalaman nenek moyang jutaan tahun lalu.

Ketidaksadaran ini kemudian diekspresikan dalam rupa-rupa bentuk warisan kebudayaan seperti mitologi, legenda dan karya seni yang melintasi semua ras dan kultur di permukaan bumi ini.


"Mungkin sudah waktunya kita punya kaca mata lain," kata Buntje. 
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Resensi buku - "History of Money" membongkar praktik penyebab krisis

Resensi buku - "History of Money" membongkar praktik penyebab krisis


Jakarta (ANTARA News) - Siapa sangka jika krisis yang terjadi saat ini telah diskenariokan dengan rapi oleh sekelompok orang.

Pendiri House of Rothschild Mayer Amschel Rothschild pernah menyatakan "biarkan aku mengeluarkan dan mengendalikan uang suatu negara dan aku tidak peduli dengan hukum."

Pernyataan itu dielaborasi dengan cerdas dalam buku berjudul "History of Money" yang ditulis oleh Andrew Hitchcock penulis bestseller "The Synagogue of Satan".

Buku yang diterjemahkan pertama kali untuk pasar Indonesia oleh Best Media Jakarta pada September 2015, itu berupaya membongkar cara zionis dalam memanipulasi uang.
Buku yang diterjemahkan oleh Satya Pradana itu, bahkan dengan berani memaparkan subjudul "Membongkar Kejahatan Zionis Menjajah Dunia Melalui Manipulasi Uang".

Hitchcook dalam buku History of Money menuliskan prakata panjang lebar mengenai manipulasi uang. Ia memaparkan tentang para ekonom yang senantiasa membohongi publik bahwa resesi dan depresi adalah bagian alami dari siklus bisnis.

"Resesi dan depresi selalu terjadi bila bank sentral memanipulasi jumlah uang beredar, yang tujuan akhirnya adalah mematikan semakin banyak kekayaan yang ditransfer dari masyarakat ke tangan mereka. Bank sentral sendiri merupakan metamorfosis dari pedagang uang di zaman dulu," tulisnya.

Buku setebal 184 halaman itu menyajikan penyebab keruntuhan perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia yang sebenarnya sudah diatur sedemikian rupa oleh para bandit ekonomi (economic hit man) dalam permainan kotor zionis.
Dalam buku itu diceritakan tentang bagaimana para bandit ekonomi dengan kekuatan manipulasi uang, mereka mendalangi berbagai krisis ekonomi di banyak negara.

Mereka bisa menjatuhkan nilai uang sebuah negara, membuat negara menjadi miskin, menghancurkan nilai properti, membantai industri produksi, dan mengeringkan keuangan nasional.

Buku ini menjelaskan secara kronologi, bagaimana mereka "merampok" kekayaan sebuah negara beserta rakyatnya dengan cara memanipulasi uang.

Bahkan buku itu berani mengklaim mampu membuka cara berpikir pembacanya tentang manipulasi di balik terciptanya uang. Pembaca akan tercengang mengetahui kebenarannya, tulis buku itu.
Kondisi Indonesia
Buku ini jika dikaitkan dengan kondisi terkini Indonesia semakin sesuai di tengah kondisi ekonomi yang sedang bertahan menahan dampak krisis perlambatan ekonomi global.

Tidak banyak yang menyangka jika apa yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan fenomena yang telah didisain dengan sangat rapi.

Para bandit ekonomi dituduh menjadi biang dari semakin lesunya kondisi ekonomi negeri ini.
Oleh karena itu, buku ini menjadi semakin pas dijadikan acuan dan referensi bagi para pembuat kebijakan di Tanah Air.

Buku ini menyajikan cara Profesor Joseph Stiglitz, mantan Kepala Ekonom Bank Dunia dan mantan Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Clinton tentang strategi empat langkah yang diciptakannya bagi Bank Dunia untuk memperbudak bangsa melalui para bankir.
"Langkah pertama adalah dengan privatisasi, ini dilakukan dengan memberikan tawaran kepada para pemimpin nasional dengan komisi yang ada di rekening rahasia bank Swiss sebagai bentuk pertukaran dolar untuk pemangkasan beberapa miliar dolar dari harga penjualan aset nasional. Suap dan korupsi, murni dan sederhana."

Langkah kedua dengan liberalisasi pasar modal yang dilakukan untuk membatalkan hukum pajak uang yang melebihi perbatasannya.

Sedangkan langkah ketiga dengan menentukan harga berdasarkan pasar untuk menciptakan kerusuhan sosial di sebuah negara yang pada akhirnya menjadikan suatu negara menjadi bangkrut.

Langkah terakhir yakni sistem perdagangan bebas yang pada akhirnya akan memenangkan para bankir.

Di luar itu semua, buku ini menjelaskan secara kronologis manipulasi di balik terciptanya uang.

Membosankan AwamBuku ini meski bisa menjadi referensi bagi para ekonom dan pembuat kebijakan, beberapa bagian di dalamnya terasa membosankan.

Pembaca yang tidak memiliki ketertarikan yang tinggi dalam bidang ekonomi terancam kehilangan minat membacanya pada halaman-halaman awal buku ini.

Namun, prakata buku pada halaman 3 yang diberi anak judul Manipulasi Uang dibuat nisbi singkat dan jelas untuk sedikit membawa "lari" pembaca ke dalam persoalan teknis yang lebih berat pada halaman selanjutnya.

Sebenarnya buku telah tampak dirancang sedemikian rupa agar mudah dipahami oleh pembaca awam dengan cara runtutan atau sistematika waktu.

Buku disajikan dengan runtutan tahun seperti halnya buku sejarah dari mulai 48 Sebelum Masehi (SM) ketika Julius Caesar mengambil kembali hak untuk membuat koin emas dari tangan pedagang uang di zamannya untuk kepentingan masyarakat yang dijelaskan pada halaman 7.
Uraian kemudian berakhir pada 2006, saat ketika buku ini ditulis ketika Amerika dan Inggris berperang di Afganistan dan Irak hingga merencanakan ke depan untuk menginvesi Iran, seperti dijelaskan di halaman 178.

Namun, agak sedikit mengagetkan ketika penulis menyimpulkan tulisannya dalam buku tersebut salah satunya bahwa mata uang yang ditopang oleh emas akan menemukan pada satu titik tidak ada penopang apapun di dalamnya.

Kesimpulan bahwa satu-satunya sistem moneter yang tampaknya berfungsi dalam sejarah adalah sistem moneter yang didukung oleh niat baik pemerintah dan bebas utang, tampak mengecilkan paparan panjang lebar dalam halaman-halaman sebelumnya.

Padahal, buku tersebut telah berupaya memaparkan secara kronologis praktik penyebab krisis oleh para bandit ekonomi dengan segala sepak terjangnya.

Judul Buku: History of Money

Penulis: Andrew Hitchcock

Penerbit: Best Media

Penerjemah: Satya Pradana

Cetakan I: September 2015


Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2015
Back To Top