Reporter : Sri Wiyanti
ranjang giok. ©2015 Merdeka.com/siwi subiantoro
Merdeka.com - Nilai batu akik yang sedang meroket membuat bisnis ini semakin digandrungi masyarakat Indonesia. Untuk mendapatkan batu berharga ini, kolektor maupun penjual batu rela melakukan berbagai cara, termasuk mengorbankan benda cagar budaya.
Salah satunya adalah ranjang batu giok peninggalan Dinasti Ming abad ke 14. Ranjang giok ini dimiliki oleh Ghani Wido Utomo sebagai benda warisan leluhur.
Pecinta sejarah, Kurniawan saat ini sedang berjuang mempertahankan ranjang giok seberat 1.560 kilogram ini agar tidak dipotong-potong oleh pemiliknya untuk dijadikan batu akik.
"Itu semula ranjang itu adanya di Solo, pemiliknya tinggal di Jakarta. Ranjang giok itu warisan. Si pemilik awalnya enggak paham soal batu itu, enggak dirawat. Sempat disewain ke hotel," kata Kurniawan kepada merdeka.com, Senin (20/4).
Sekitar tahun 2011, lanjut Kurniawan, Ghani mulai sadar tentang tata cara mengurus barang pusaka bernilai budaya. Kurniawan pun membantu Ghani untuk memperoleh sertifikat kepemilikan ranjang giok tersebut.
"Diurus kepemilikan ranjang itu sesuai dengan undang-undang. Sama Pemkot Solo, Dinas Pendidikan Yogyakarta diteliti dan ditetapkan sebagai benda budaya. Sebelumnya sudah ada kajian soal ranjang batu itu," tutur Kurniawan.
Namun, lantaran biaya perawatan yang mahal, Ghani pun disarankan untuk menitipkan ranjang giok lengkap beserta lampunya ke Museum Sri Baduga, Bandung. Meski dititipkan di museum, namun kepemilikan sah tetap atas nama Ghani Wido Utomo.
Kurniawan mengatakan, sulitnya merawat ranjang giok beserta kelengkapannya tersebut menjadi alasan pemilik berencana memotong batu tersebut untuk dijadikan batu akik, kemudian dijual.
Pada dasarnya, menurut Kurniawan, Ghani mengetahui konsekuensi dari kegiatan merusak barang cagar budaya seperti yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Dalam undang-undang tersebut, Ghani bisa didenda maksimal Rp 5 miliar.
Namun, potongan dari ranjang batu giok tersebut apabila dijual, harganya akan jauh melampaui nilai denda yang berlaku. "Bayangkan saja harga batu giok ukurannya 1.560 kilo," tutur Kurniawan.
Kurniawan bercerita bahwa ranjang batu giok peninggalan abad ke 14 tersebut merupakan simbol eksistensi peninggalan sejarah budaya China di Indonesia.
"Menurut sejarah, ranjang ini dibuat pada abad ke 14 (masa) Dinasti Ming kekaisaran Chenghua," tutur Kurniawan.
Kurniawan menggambarkan ranjang giok ini bermotif Naga dan Burung Hong (phoenix). Menurut budaya China, Naga dan Burung Hong melambangkan perdamaian serta pertanda baik atau nasib baik.
Ranjang giok ini konon hanya ada 2 atau sepasang di dunia. Sepasang ranjang ini merupakan simbol raja dan ratu. "Ini hadiah untuk putri raja Chenghua yang menikah dengan salah satu wali di Indonesia (Sunan Gunung Jati). Dibuat sepasang, King and Queen. Yang King lebih berat dari yang Queen. Nah ini yang King. Satunya lagi dimiliki keluarga Cendana," jelas Kurniawan.
Ranjang giok ini merupakan karya seni bernilai tinggi dengan teknik pembuatan yang rinci dan rumit. Keindahan ranjang ini terpancar dari hiasan dan ukiran yang terdapat hampir di seluruh bagian ranjang. Pengerjaan dengan teknik pahat yang mengagumkan, ranjang ini dilengkapi pula dengan sepasang lampion atau lampu tidur.
"Eksistensi benda cagar budaya ini terancam keberadaannya di karenakan demam batu yang sedang melanda negeri ini. Sang pemilik sah berencana untuk memotong bagian-bagian dari benda ini karena tergiur oleh bisnis batu yang di tawarkan oleh beberapa investor atau pebisnis batu," ungkap Kurniawan.
Menurut Undang Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, setiap benda cagar budaya memang bisa di miliki oleh siapapun baik per orangan maupun kelompok. "Namun sangat disayangkan apabila kepemilikan benda cagar budaya secara sah oleh per orangan ini disalahgunakan, atau bahkan di rusak, padahal jelas bertentangan dengan Undang Undang," tutur Kurniawan.

Merdeka.com - Nilai batu akik yang sedang meroket membuat bisnis ini semakin digandrungi masyarakat Indonesia. Untuk mendapatkan batu berharga ini, kolektor maupun penjual batu rela melakukan berbagai cara, termasuk mengorbankan benda cagar budaya.
Salah satunya adalah ranjang batu giok peninggalan Dinasti Ming abad ke 14. Ranjang giok ini dimiliki oleh Ghani Wido Utomo sebagai benda warisan leluhur.
Pecinta sejarah, Kurniawan saat ini sedang berjuang mempertahankan ranjang giok seberat 1.560 kilogram ini agar tidak dipotong-potong oleh pemiliknya untuk dijadikan batu akik.
"Itu semula ranjang itu adanya di Solo, pemiliknya tinggal di Jakarta. Ranjang giok itu warisan. Si pemilik awalnya enggak paham soal batu itu, enggak dirawat. Sempat disewain ke hotel," kata Kurniawan kepada merdeka.com, Senin (20/4).
Sekitar tahun 2011, lanjut Kurniawan, Ghani mulai sadar tentang tata cara mengurus barang pusaka bernilai budaya. Kurniawan pun membantu Ghani untuk memperoleh sertifikat kepemilikan ranjang giok tersebut.
"Diurus kepemilikan ranjang itu sesuai dengan undang-undang. Sama Pemkot Solo, Dinas Pendidikan Yogyakarta diteliti dan ditetapkan sebagai benda budaya. Sebelumnya sudah ada kajian soal ranjang batu itu," tutur Kurniawan.
Namun, lantaran biaya perawatan yang mahal, Ghani pun disarankan untuk menitipkan ranjang giok lengkap beserta lampunya ke Museum Sri Baduga, Bandung. Meski dititipkan di museum, namun kepemilikan sah tetap atas nama Ghani Wido Utomo.
Kurniawan mengatakan, sulitnya merawat ranjang giok beserta kelengkapannya tersebut menjadi alasan pemilik berencana memotong batu tersebut untuk dijadikan batu akik, kemudian dijual.
Pada dasarnya, menurut Kurniawan, Ghani mengetahui konsekuensi dari kegiatan merusak barang cagar budaya seperti yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Dalam undang-undang tersebut, Ghani bisa didenda maksimal Rp 5 miliar.
Namun, potongan dari ranjang batu giok tersebut apabila dijual, harganya akan jauh melampaui nilai denda yang berlaku. "Bayangkan saja harga batu giok ukurannya 1.560 kilo," tutur Kurniawan.
Kurniawan bercerita bahwa ranjang batu giok peninggalan abad ke 14 tersebut merupakan simbol eksistensi peninggalan sejarah budaya China di Indonesia.
"Menurut sejarah, ranjang ini dibuat pada abad ke 14 (masa) Dinasti Ming kekaisaran Chenghua," tutur Kurniawan.
Kurniawan menggambarkan ranjang giok ini bermotif Naga dan Burung Hong (phoenix). Menurut budaya China, Naga dan Burung Hong melambangkan perdamaian serta pertanda baik atau nasib baik.
Ranjang giok ini konon hanya ada 2 atau sepasang di dunia. Sepasang ranjang ini merupakan simbol raja dan ratu. "Ini hadiah untuk putri raja Chenghua yang menikah dengan salah satu wali di Indonesia (Sunan Gunung Jati). Dibuat sepasang, King and Queen. Yang King lebih berat dari yang Queen. Nah ini yang King. Satunya lagi dimiliki keluarga Cendana," jelas Kurniawan.
Ranjang giok ini merupakan karya seni bernilai tinggi dengan teknik pembuatan yang rinci dan rumit. Keindahan ranjang ini terpancar dari hiasan dan ukiran yang terdapat hampir di seluruh bagian ranjang. Pengerjaan dengan teknik pahat yang mengagumkan, ranjang ini dilengkapi pula dengan sepasang lampion atau lampu tidur.
"Eksistensi benda cagar budaya ini terancam keberadaannya di karenakan demam batu yang sedang melanda negeri ini. Sang pemilik sah berencana untuk memotong bagian-bagian dari benda ini karena tergiur oleh bisnis batu yang di tawarkan oleh beberapa investor atau pebisnis batu," ungkap Kurniawan.
Menurut Undang Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, setiap benda cagar budaya memang bisa di miliki oleh siapapun baik per orangan maupun kelompok. "Namun sangat disayangkan apabila kepemilikan benda cagar budaya secara sah oleh per orangan ini disalahgunakan, atau bahkan di rusak, padahal jelas bertentangan dengan Undang Undang," tutur Kurniawan.
Petugas administrasi Museum Sri Baduga Bandung, Yoyoh membenarkan bahwa
di museum tersebut terdapat ranjang giok peninggalan Dinasti Ming.
Yoyok mengatakan, ranjang tersebut statusnya dititipkan oleh pemilik untuk disimpan dan dirawat oleh pihak museum.
"Iya ada, itu bentuknya titipan kalau enggak salah," kata Yoyoh saat dihubungi merdeka.com, Senin (20/4).
Meski Yoyoh mengaku tidak mengetahui pemilik ranjang giok tersebut, namun dirinya mengetahui bahwa ranjang giok tersebut belum lama dipindahkan dari museum di Solo. "Belum lama (dititipkan di museum). Dulu kalau gak salah dititipin dari Solo. Tapi saya kurang tahu pemiliknya," tutur Yoyoh.
Terkait rencana pemilik yang akan memotong ranjang giok tersebut untuk dijadikan akik, Yoyoh mengaku belum mendapat kabar dari sang pemilik, Ghani Wido Utomo. "Belum, belum ada pihak keluarga yang menghubungi.
Sementara itu, pemilik ranjang giok peninggalan Dinasti Ming, Ghani Wido Utomo membenarkan bahwa dirinya adalah pewaris benda cagar budaya tersebut.
Ghani juga membenarkan bahwa ranjang giok pusaka tersebut saat ini disimpan di Museum Sri Baduga, Bandung.
"Iya benar (pewaris ranjang giok). Saya simpan di sana (Museum Sri Baduga) untuk dirawat," tutur Ghani saat dihubungi merdeka.com, Senin (20/4).
Namun, terkait kabar yang menyebut bahwa Ghani berniat memotong ranjang giok tersebut untuk dijadikan batu akik, Ghani menjawab singkat.
"Itu kabar dari mana? Kalau pun iya, kenapa? Saya rasa itu urusan pribadi saya. Saya enggak mau komen," tutur Ghani.
Yoyok mengatakan, ranjang tersebut statusnya dititipkan oleh pemilik untuk disimpan dan dirawat oleh pihak museum.
"Iya ada, itu bentuknya titipan kalau enggak salah," kata Yoyoh saat dihubungi merdeka.com, Senin (20/4).
Meski Yoyoh mengaku tidak mengetahui pemilik ranjang giok tersebut, namun dirinya mengetahui bahwa ranjang giok tersebut belum lama dipindahkan dari museum di Solo. "Belum lama (dititipkan di museum). Dulu kalau gak salah dititipin dari Solo. Tapi saya kurang tahu pemiliknya," tutur Yoyoh.
Terkait rencana pemilik yang akan memotong ranjang giok tersebut untuk dijadikan akik, Yoyoh mengaku belum mendapat kabar dari sang pemilik, Ghani Wido Utomo. "Belum, belum ada pihak keluarga yang menghubungi.
Sementara itu, pemilik ranjang giok peninggalan Dinasti Ming, Ghani Wido Utomo membenarkan bahwa dirinya adalah pewaris benda cagar budaya tersebut.
Ghani juga membenarkan bahwa ranjang giok pusaka tersebut saat ini disimpan di Museum Sri Baduga, Bandung.
"Iya benar (pewaris ranjang giok). Saya simpan di sana (Museum Sri Baduga) untuk dirawat," tutur Ghani saat dihubungi merdeka.com, Senin (20/4).
Namun, terkait kabar yang menyebut bahwa Ghani berniat memotong ranjang giok tersebut untuk dijadikan batu akik, Ghani menjawab singkat.
"Itu kabar dari mana? Kalau pun iya, kenapa? Saya rasa itu urusan pribadi saya. Saya enggak mau komen," tutur Ghani.
[siw]
Labels:
Bandung,
Giok Dinasti Ming
Thanks for reading Demam batu akik mengancam pusaka Dinasti Ming di Bandung. Please share...!
0 Komentar untuk "Demam batu akik mengancam pusaka Dinasti Ming di Bandung"