-->
Motivasi Menulis
Bisnis Online

Kritik Tajam untuk Jokowi yang Membiarkan Negara Tanpa Kapolri

Mega Putra Ratya - detikNews

Kritik Tajam untuk Jokowi yang Membiarkan Negara Tanpa Kapolri
Jakarta - Baru pertama kali dalam sejarah, Pemilihan Kapolri berjalan lambat, berbelit-belit dan bahkan dibiarkan oleh Presiden. Situasi ini mengantarkan Jokowi pada posisi buruk, dimana kredibilitasnya sebagai Presiden perlu ditinjau ulang. Dengan kata lain, perlu diragukan. Mengapa?

"Pertama, Jokowi terkesan sengaja memperlambat proses pergantian Kapolri dengan cara sengaja mengganti Kapolri lama, Jenderal Polisi Sutarman sebelum waktunya. Mengapa disebut 'sebelum waktunya', karena meskipun Jokowi punya hak prerogatif, namun faktanya Jokowi belum punya calon Kapolri pengganti yang siap untuk menggantikan Sutarman," ujar Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B. Nahrawadaya dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/2/2015).

Apalagi, lanjut Mustofa, masa kepemimpinan Sutarman belum berakhir. Dengan demikian, Jokowi gagal mengkalkulasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, terkait keputusannya mencopot Sutarman.

"Alasan pencopotan Sutarman yang konon soal kegagalan Sutarman menyelesaikan kasus Obor Rakyat, sebenarnya tak terlalu penting. Akan tetapi Jokowi jelas tidak punya calon yang lebih baik dari Sutarman. Dan parahnya Jokowi, sudah mencopotnya secara terburu-buru," ungkapnya.

Kedua, menurut Mustofa, semestinya Jokowi konsisten dengan semangatnya memberantas korupsi yang dia tunjukkan saat membawa nama-nama calon Kabinet ke KPK untuk minta 'stabilo' KPK. Langkah Jokowi di awal pemerintahannya, sudah cukup baik, bahkan dianggap terobosan baru.

"Sayangnya, hal itu tidak diindahkan saat Jokowi membawa Calon Kapolri. Sudah jelas Calon Kapolri diberi status tersangka oleh KPK, semestinya Jokowi segera mengganti calon yang diajukannya, dengan calon lain yang lebih baik. Biarkanlah yang tersandung hukum, menyelesaikan sendiri di depan penegak hukum. Namun, faktanya, hal itu justru diabaikan Jokowi. Malah, Jokowi mengajukan calon bermasalah tersebut ke DPR RI untuk di fit and proper test," tuturnya.

"Pengajuan seorang tersangka untuk mengikuti fit and proper test tersebut, jelas sekali sebuah langkah terburuk Jokowi di bidang hukum dalam 100 hari pertama kepemimpinannya. Sudah tahu bermasalah secara hukum, kenapa masih diajukan. Meski memegang prinsip praduga tidak bersalah, namun Jokowi mestinya juga harus paham, bahwa tidak mungkin Kepolisian Indonesia dipimpin seorang pelaku kejahatan. Karena bagaimanapun, Kapolri ini nanti akan memimpin penegakan hukum secara nasional. Anehnya, jika semula Jokowi percaya kepada KPK, mengapa dalam urusan Kapolri, menjadi mbalelo ke KPK?" tanya Mustofa.

 Ketiga, karena kini sebagai seorang Presiden, Jokowi seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat banyak dibanding persoalan pribadi dan golongannya. Jadi persoalan internal Jokowi dengan partainya, persoalan Jokowi dengan pendukungnya, persoalan Jokowi dengan para penyokong kampanyenya, jelas bukanlah persoalan Rakyat Indonesia.

"Persoalan itu silahkan diselesaikan secara internal karena Jokowi sendiri harus paham konsekuensi saat mengikuti Pilpres. Namun ketika sudah dilantik sebagai Presiden, semestinya tidak lagi menyeret Rakyat Indonesia ke dalam konflik internal Jokowi dan kelompoknya. Dengan demikian, langkah yang harus diambil Jokowi seharusnya segera mengganti Calon Kapolri bermasalah, setelah status tersangka melekat pada diri calon Kapolri tersebut. Sayang, sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur," kata aktifis muda Muhammadiyah ini.

Keempat, dengan kondisi Jokowi yang sudah terlanjur melibatkan jutaan Rakyat Indonesia pada persoalan pribadi dan kelompoknya, terpaksa masyarakat disuruh memahami kondisi Jokowi yang terjepit, tertekan kanan kiri, terus menerus terjerat rantai kusut politik. Seolah, persoalan diri Jokowi dan kelompoknya, adalah persoalan lebih dari 250.000.000 orang yang dia pimpin.

"Padahal sebagai Presiden Jokowi harus tahu bahwa persoalan dapur, persoalan pribadi, dan persoalan kelompoknya tidak lagi boleh melibatkan seluruh Rakyat Indonesia. Jika cara demikian terus menerus dilakukan Jokowi, tidak menutup kemungkinan waktu kepemimpinannya akan habis hanya untuk sosialisasi persoalan keributan di lingkungan Jokowi kepada seluruh Rakyat Indonesia. Padahal, kini sedang ditunggu langkah kejutan Jokowi untuk segera merealisasikan janji-janji muluknya saat kampanye," paparnya.

Kelima, akibat beberapa fakta di atas, maka hingga kini, Indonesia tidak memiliki Kapolri. Jokowi mungkin tidak pernah mempertimbangkan bahwa pembangunan Kepolisian 2014 melalui dana APBN, hampir Rp. 50 Triliun. Besarnya dana pembangunan Institusi Polri, seharusnya membuat Jokowi berhati-hati.

"Sayangnya, hal itu tidak dilakukan. Sekedar diketahui, jika saja Sutarman belum dicopot, maka masyarakat sebenarnya tidak akan penasaran ada misteri apa dibalik pergantian Kapolri yang terburu-buru. Apakah dengan situasi sekarang, kasus Obor Rakyat apakah kemudian bisa diselesaikan dengan baik? Ternyata tidak juga," kata Mustofa.

"Jokowi mungkin tidak pernah memikirkan bagaimana situasi penanganan keamanan nasional terkait terorisme tanpa Kapolri, bagaimana situasi penanganan terkait kasus internal kepolisian tanpa Kapolri, terkait kasus-kasus besar yang menyangkut nama institusi POLRI tanpa adanya Kapolri, atau bahkan bagaimana situasi penanganan harmonisasi TNI-POLRI tanpa Kapolri? Jika tidak segera diisi, maka kondisi keamanan secara nasional, cepat atau lambat akan terpengaruh. Hanya menunggu waktu. Ini sungguh mengerikan," ungkap Mustofa.

Keenam, beberapa tokoh yang semula bisa didengar oleh Rakyat Indonesia karena kekritisannya meluruskan langkah-langkah Jokowi di luar pemerintahan seperti Oegroseno, Jimly Asshiddiqie, Bambang Widodo Umar, Buya Syafii Maarif, Erry Riyana Hardjapamekas, Hikmahanto Juwana, Tumpak Hatorangan Panggabean, kini malah diajak Jokowi 'Sering Masuk Istana' sebagai Tim Independen.

"Dengan hadirnya Tim 7 bentukan Jokowi itu, maka keberadaan Watimpres, jadi mandul. Tidak efektif. Akibat lain, suara-suara mereka yang masuk Tim 7 bentukan Jokowi, yang semula terdengar rajin meluruskan langkah-langkah Jokowi, kini malah tidak lagi terdengar melalui media massa. Ini jelas sangat memprihatinkan. Karena sudah tidak ada lagi yang mengkritik Jokowi, kini Presiden bisa melakukan apa saja, termasuk wira-wiri Jakarta-Bogor, tanpa ada yang mengingatkan bahwa itu pemborosan," tutupnya.

(mpr/iqb)
Labels: ICAF

Thanks for reading Kritik Tajam untuk Jokowi yang Membiarkan Negara Tanpa Kapolri . Please share...!

0 Komentar untuk "Kritik Tajam untuk Jokowi yang Membiarkan Negara Tanpa Kapolri "

Back To Top