Isu tersebut makin santer setelah muncul laporan kuartal I-2015 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di mana ekonomi hanya tumbuh 4,71%. Sementara di saat bersamaan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun, dan dolar Amerika Serikat (AS) tembus Rp 13.000.
Memang kondisi pelemahan ekonomi ini tak lepas dari faktor eksternal, seperti pelemahan ekonomi dunia dan penurunan harga komoditas dan minyak mentah. Tapi dari dalam negeri, para menteri ekonomi dianggap tidak menunjukkan kinerja yang bagus. Optimisme bernama 'Jokowi Effect' pun mulai luntur.
Tony Prasetyantono, Kepala Ekonom Bank Permata menjelaskan, ada beberapa tahapan yang dilalui Jokowi selepas menjadi presiden. Awalnya adalah ketika menunjuk menteri. Menurutnya pada beberapa pos kementerian, ada penunjukan yang salah.
"Sejak awal Jokowi kan memang sudah banyak melakukan 'salah letak' dalam penyusunan kabinet. Beberapa tidak kompeten. Tapi kan kita semula berpikir, sebaiknya beri dulu kesempatan," ujar Tony kepada detikFinance, Rabu (6/5/2015)
Kemudian soal perlambatan ekonomi di kuartal IV-2014 lalu cukup dimaklumi, karena dianggap sebagai hasil kinerja pemerintahan sebelumnya. Sementara Jokowi masih menyusun dan membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015.
Dari APBN tersebut, tergambar target yang dipasang sampai akhir tahun. Di antaranya, pertumbuhan ekonomi 5,7%, dolar AS Rp 12.500, inflasi 5%. Kemudian belanja negara Rp 1.984,1 triliun, pendapatan Rp 1.761,6 triliun, dan pembiayaan Rp 222,5 triliun.
Akan tetapi berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, justru tampak tidak searah terhadap target. Artinya ada kesalahan yang datangnya dari sisi perencanaan, di mana tidak sesuai dengan kondisi yang dihadapi negara saat ini, dan lima tahun mendatang.
Misalnya dengan adanya kondisi ekonomi eksternal yang tidak mendukung, tapi target pertumbuhan ekonomi dipaksakan tumbuh tinggi. Di saat yang sama, setoran pajak ingin digenjot. Iklim dunia usaha menjadi kurang kondusif, akibat beberapa kebijakan dari sektor industri dan perdagangan yang tidak mendukung.
"Setelah 6 bulan, susah menutupi bahwa orang yang tidak kompeten, tetapi menjalankan tugas yang bukan bidangnya, akhirnya kedodoran dan keteteran juga," jelasnya.
Tony tidak menutup mata kepada menteri yang berpengalaman dan kompeten seperti Menteri BUMN Rini Soemarno. Namun, sedikit aneh ketika adanya pemilihan komisaris BUMN yang berasal dari kalangan politisi.
"Kalau Menteri BUMN saya sayangkan, karena dia (Rini) kan punya pengalaman lama di Astra, masa tidak tahu kalau di era sekarang komisaris juga diperlukan persyaratan kapasitas, bukan asal orang," ungkapnya.
"Ini membuat pasar bingung, skeptis dan menurunkan kepercayaan pasar dan publik terhadap pemerintahan Jokowi," tegas Tony.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sebelumnya mengatakan, dalam waktu dekat akan dilakukan pergantian menteri. Meski sangat disayangkan kondisi ini harus terjadi sekarang, tapi menurut Tony untuk ke depannya memang perlu dilakukan perubahan.
"Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2015 yang cuma 4,7% bisa membuat eskalasi wacana reshuffle menguat, apalagi Wapres JK juga mulai menyuarakannya. Lengkap sudah. Meski saya sebenarnya menyayangkan jika itu terjadi, karena terlalu cepat. Tapi mau bagaimana lagi. Kesalahan sudah terjadi sejak awal pembentukan kabinet," paparnya.
Labels:
Ekonomi Lesu di Kuartal Satu,
Reshuffle?
Thanks for reading Ada Wacana Jokowi Mau Reshuffle Menteri, Perlukah?. Please share...!
0 Komentar untuk "Ada Wacana Jokowi Mau Reshuffle Menteri, Perlukah?"