-->
Motivasi Menulis
Bisnis Online

Kesalahpahaman Komunikasi Penyebab Utama Penyerangan Umat Muslim di Tolikara

Moksa Hutasoit - detikNews
 Jakarta - Penyerangan umat muslim yang sedang melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 H di Karubaga, Tolikara, Papua, Jumat (17/7) lalu penyebab utamanya adalah kesalahpahaman komunikasi. Dampaknya sangat fatal. Itu pelajaran berharga untuk semua pihak terutama aparat keamanan termasuk intelijen yang kebobolan.

Akibat kejadian itu, tidak sekedar menimbulkan korban jiwa dan luka fisik. Paling parah adalah luka batin puluhan umat muslim dan keluarganya yang menjadi korban dari penyerangan itu. Butuh waktu yang panjang dan lama untuk memulihkan kembali, terutama jika yang mengalaminya anak-anak dan perempuan.

Pemerintah pusat dan daerah harus serius menuntaskan masalah ini dengan menghukum seberat-beratnya para penyerang dan dalangnya. Tindakan tegas sangat perlu dilakukan agar kasus serupa tidak terulang kembali.

"Setelah mencermati secara detil kejadian di Tolikara dan membaca komentar semua pihak terutama yang terkait dengan yang bertikai baik penyerangan maupun yang diserang, saya berkesimpulan masalah utama di sana adalah kesalahpahaman komunikasi. Jika para aparat tanggap dan segera mengantisipasinya, kejadian yang menyakitkan umat Islam tersebut dapat dicegah," ujar pakar komunikasi Aqua Dwipayana saat diminta tanggapannya tentang kejadian tersebut pada Senin (20/7/2015).
Seperti diberitakan, penyerangan itu berawal dari surat edaran yang dikeluarkan Badan Pekerja Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Wilayah Tolikara, pada Sabtu, 11 Juli 2015 lalu. Surat tersebut ditandatangani Pendeta Marthen Jingga dan Pendeta Nayus Wenda.

Dalam surat edaran yang isinya kontroversial itu tertuang larangan merayakan Idul Fitri di Karubaga karena bertepatan dengan pelaksanaan Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Internasional Pemuda GIDI.

Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pendeta Dorman Wandikmbo mengakui bahwa surat itu memang ada dan dikeluarkan oleh Ketua Klasis dan Ketua Wilayah GIDI Tolikara. Isi surat tersebut adalah melarang dilakukannya salat Id di lapangan terbuka. Alasannya karena bersamaan waktunya dengan digelarnya ibadah/seminar internasional GIDI di Kabupaten Tolikara. Peserta seminar tak hanya dari wilayah Papua, melainkan dari seluruh Indonesia.

Setelah surat tersebut keluar Kapolres Tolikara AKBP Soeroso kemudian berkoordinasi dengan Presiden GIDI Dorman Wandikmbo dan Bupati Tolikara Usman Wanimbo. Mereka kemudian menyarankan agar Salat Id dilakukan di dalam musala saja.

"Memang kami menyadari selaku umat beragama kita tidak bisa melarang orang beribadah, untuk itu kami sarankan agar Salat Id tidak dilaksanakan di lapangan terbuka," kata Pdt. Dorman Wandikbo, Sabtu (18/7/2015) di Tolikara.
Dalam rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) Kabupaten Tolikara, di Karubaga, Sabtu (18/7/2015) siang, kata Kepala Kepolisian Daerah Papua, Irjen Pol Yotje Mende, Bupati Tolikara, Usman Wanimbo dan Presiden GIDI Pendeta Dorman Wandikbo tidak menyetujui beredarnya surat edaran kontroversial itu. Surat itu adalah inisatif dari Badan Pekerja GIDI Wilayah Tolikara.
"Surat itu sudah terlanjur beredar di kalangan peserta KKR, sehingga disalahartikan. Akibatnya terjadi aksi massa pembubaran ratusan umat muslim yang sedang melakukan shalat ied di lapangan Koramil," ungkap Yotje di Mapolda Papua didampingi Panglima Kodam XVII Cenderawasih, Mayjen Fransen Siahaan usai berkunjung ke Tolikara.
Dalam penyerangan itu 11 orang ditembak aparat keamanan karena tidak mengindahkan perintah anggota polisi dan TNI. Satu orang meninggal dunia, tiga luka parah, dan delapan orang luka ringan. Tujuh korban dievakuasi ke RS DOK II Jayapura dan empat lainnya ke RSUD Wamena.

Selain itu puluhan rumah dan kios, satu mobil, serta satu musala terbakar. Akibatnya 38 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan barang-barang berharga. Mereka sementara tinggal di tenda-tenda penampungan yang dibangun di halaman Polres dan Koramil.

Sementara seorang tokoh muslim di Tolikara Haji Ali Muhtar mengaku, umat muslim di sana tidak mengetahui adanya surat edaran himbauan agar menggelar Salat Id di Musala, bukan di lapangan terbuka.

Apabila surat edaran itu sampai ke dia, Haji Ali sebagai tokoh muslim di Tolikara mengaku akan melaksanakan. "Ada surat edaran larangan melakukan Salat Id dilapangan, tapi surat itu tidak ada kami terima. Kalau memang ada surat seperti itu harusnya disampaikan secara tertulis kepada kami. Kalau memang ada surat seperti itu kami akan laksanakan. Tapi kami tidak ada menerima," kata Haji Ali.

Selama ini menurut Haji Ali toleransi antar umat beraga di kota yang genap berusia 13 tahun pada 30 Juni 2015 itu cukup baik. Sekitar 9 tahun menjadi minoritas di Tolikara, umat muslim merasa aman.

Umat muslim di Tolikara bisa dengan leluasa beribadah, termasuk saat menggelar Salat Idul Fitri maupun Idul Adha. "Kami selama sembilan tahun di sini (merasa) aman," kata Haji Ali kepada wartawan di Karubaga, Tolikara, Papua, Sabtu (18/7/2015).
Haji Ali mengaku baru kali ini saja terjadi penyerangan saat umat muslim menggelar Salat Id. Itu pun terjadi karena adanya kesalahpahaman.

Belajar dari kejadian di Tolikara yang penyebab utamanya adalah kesalahpahaman komunikasi, Aqua yang juga pengamat kepolisian dan militer menyarankan agar aparat keamanan dan kepala daerah lebih meningkatkan kepekaannya dan proaktif jika menerima surat yang terkait dengan kegiatan keagamaan. Semua pihak harus diajak bicara untuk mencari solusi terbaik jika ada masalah terkait dengan rencana aktivitas keagamaan.

"Aparat keamanan dan para kepala daerah harus meningkatkan sensitivitasnya jika ada hal-hal yang terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Hal itu sangat sensitif. Jika ada saja sedikit gesekan bisa dengan cepat membesar. Telah banyak sekali kasus yang terjadi di Indonesia terkait dengan SARA termasuk yang terakhir di Tolikara," ujar Aqua.

Pendekatan yang perlu dilakukan terhadap semua pihak, tambah mantan wartawan harian Jawa Pos dan Bisnis Indonesia ini adalah mengedepankan komunikasi dengan mengutamakan kesetaraan. Menganggap seluruh pihak sejajar sehingga tidak terjadi gap komunikasi dan tidak ada yang merasa superior dibandingkan yang lainnya.

Kandidat doktor Komunikasi dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung ini melanjutkan jangan ada pihak yang merasa mayoritas sehingga bisa berbuat seenaknya dan bersikap semena-mena pada kelompok minoritas. Semua kelompok harus menghargai keberadaan masing-masing dan menghormati dalam melaksanakan ibadah.

"Kondisi di Tolikara kini sudah kondusif. Kedua belah pihak yang bertikai sudah berdamai. Jadikanlah peristiwa itu sebagai pelajaran dan pengalaman berharga agar di kemudian hari tidak terulang kembali, tidak hanya di daerah itu tetapi di seluruh Indonesia. Akibat kejadian itu yang paling mahal adalah biaya sosialnya," ungkap Aqua.

Masyarakat yang menjadi korban penyerangan dan pembakaran itu agar dipulihkan kembali hak-haknya. Inisiatif pemerintah pusat dan Kabupaten Tolikara yang akan membangun kembali seluruh bangunan yang terbaik yakni rumah, kios, dan musala perlu diapresiasi. Diharapkan hal itu segera dilakukan agar mereka yang kehilangan tempat tinggal dan masih tinggal di depan bisa kembali hidup layak.

Sedangkan Badan Intelijen Negara (BIN) menurut Aqua perlu memperkuat kemampuannya mendeteksi dini berbagai gangguan dan ancaman yang bakal terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Sehingga tidak kembali kebobolan seperti di Tolikara.

"Kejadian di Tolikara merupakan ujian pertama buat Kepala BIN Pak Sutiyoso. Beliau bersama jajarannya harus solid serta intens berkomunikasi dan saling tukar informasi dengan berbaga pihak yang memiliki perangkat intelijen. Sehingga dari awal tahu kalau akan ada gerakan-gerakan yang berpotensi mengganggu keutuhan bangsa dan negara untuk kesinambungan Negara Kesatuan Republik Indonesia," pungkas Aqua.
(mok/mok)
Labels: Kesalahpahaman Komunikasi, Penyebab Utama, Penyerangan Umat Muslim, Tolikara

Thanks for reading Kesalahpahaman Komunikasi Penyebab Utama Penyerangan Umat Muslim di Tolikara. Please share...!

0 Komentar untuk "Kesalahpahaman Komunikasi Penyebab Utama Penyerangan Umat Muslim di Tolikara"

Back To Top