-->
Motivasi Menulis
Bisnis Online

RPP e-Commerce yang Bikin Gemes

M. Alif Goenawan - detikinet
http://images.detik.com/content/2015/07/01/398/danieltumiwa.jpg Daniel Tumiwa (alif/detikINET)
 
Jakarta - Indonesia E-Commerce Association (IdEA) terus bersuara lantang terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) e-Commerce yang tengah digodok Kementerian Perdagangan (Kemendag). Berikut poin-poin yang bikin gemes IdEA.

Ketua Umum IdEA Daniel Tumiwa pertama-tama menyampaikan keberatannya soal waktu yang mepet untuk mempelajari matriks RPP e-Commerce. Pada suratnya, IdEA sudah mengajukan permohonan perpanjangan waktu menjadi 30 hari dari 7 hari yang diberikan oleh Kemendag. Namun sampai hari ini, Rabu (1/7/2015), Kemendag belum menjawab apakah permohonan perpanjangan waktu tersebut dikabulkan atau tidak.

Sebelumnya, Asosiasi telah berulang kali mengajukan keluhan kepada Kemendag yang dinilai tidak transparan dalam menyusun RPP tersebut. Selama 2 tahun wacana ini bergulir, Asosiasi mengaku tidak pernah diberikan akses terhadap draft dokumen. Matriks yang diberikan juga dirasa tidak cukup komprehensif, padahal sangat penting untuk mengevaluasi keseluruhan dokumen secara utuh.

Daniel menegaskan, masih banyak aturan yang butuh kejelasan dan harus dikaji ulang. RPP ini disebut hanya memihak kepada perusahaan besar. Sedangkan untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM), aturan ini dikhawatirkan akan berdampak mematikan usaha mereka.

"Matriks RPP yang ada saat ini sangat pro terhadap perusahaan enterprise besar. Namun asosiasi melihat mayoritas pelaku e-commerce ini kan datang dari sektor informal. Mereka tentu akan sangat terpukul dengan peraturan ini," papar Daniel ketika konferensi persi di Hotel Ambhara, Jakarta, Rabu (1/7/2015).

Terlebih, dampak kontribusi UKM terhadap perekonomian di Indonesia menempati porsi yang cukup besar. Dari apa yang dipaparkan oleh IdEA, UKM memberikan kontribusi sebesar 56%.

IdEA kemudian memaparkan poin-poin yang dianggap janggal. Poin pertama menurutnya harus ada kejelasan batasan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat e-commerce, mencakup pedagang, Penyelenggara Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PTPMSE), serta penyelenggara saranan perantara.
 
"Perlu dipahami bahwa industri e-commerce ini terdiri dari beberapa tipe model bisnis, seperti ritel, iklan baris, dan market place. Sehingga lingkup tanggung jawabnya pun perlu dibedakan menurut masing-masing model bisnis yang dipakai," papar Daniel.

Kedua, soal kesetaraan penegakan aturan terhadap pelaku usaha yang berdiam di wilayah Indonesia dan luar negeri. Daniel mengatakan, apabila pemerintah tidak dapat melakukan enforcement yang seimbang kepada pelaku usaha asing yang berada di luar Wilayah Indonesia, pengguna internet tentunya dapat menggunakan solusi lain yang tidak diatur oleh hukum Indonesia.

"Karena kalau tidak, dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan dari pemain lokal. Akhirnya, mereka nantinya bisa beralih berjualan di platform lain," tambahnya.

Asosiasi juga mengusulkan agar aturan KYC (Know Your Customer) dibuat seringkas mungkin. Menurut Daniel, tidak perlu adanya scan KTP, Izin Usaha, dan Nomor SK Pengesahan Badan Hukum. Cukup nomor ponsel dan rekening.

"Ketika orang itu ingin berdagang, kan pasti mencantumkan nomor rekening dan ponsel. Keduanya itu sudah cukup mewakili KYC," jelasnya. Soal aman atau tidak nomor ponsel, asosiasi mempercayakan semuanya dengan pihak operator telekomunikasi.
Kemudian yang menjadi sorotan adalah perijinan berlapis yang dinilai dapat menghambat pertumbuhan industri.

Perijinan tersebut mencakup tanda daftar khusus, izin khusus perdagangan melalui sistem elektronik, dan sertifikat keandalan. Adanya kekosongan dari peraturan pelaksana terkait masing-masing perijinan tersebut dinilai akan menimbulkan ketidakjelasan yang tidak kondusif bagi para pelaku bisnis e-commerce.

"Kesimpulannya adalah banyak sekali aturan-aturan yang butuh kejelasan. Kami tidak ingin aturan ini malah bikin perpecahan para pelaku e-commerce terpecah," pungkas Daniel.

Hal terakhir yang membuat IdEA gemes adalah kenyataan bahwa beberapa bagian RPP bertentangan dengan aturan hukum lainnya. Yang pertama adalah hukum pengangkutan yang menganut asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan/fault liability: “Setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam menyelenggarakan pengangkutan harus bertanggung jawab mengganti rugi atas segala kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu, pihak yang dirugikan harus membuktikan kesalahan pengangkut". Akan tetapi, dalam matriks RPP E-Commerce, tanggung jawab tersebut ada di PTPMSE.

Kedua, berdasarkan UU Perlindungan Konsumen membagi penyelesaian sengketa menjadi beberapa bagian, yakni: penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan, penyelesaian perkara secara pidana, dan penyelesaian perkara secara administratif. Akan tetapi, dalam matriks RPP E-Commerce, dikenal adanya penyelesaian sengketa melalui online yang juga tidak dikenal oleh UU tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

“Pandangan yang kami sampaikan ini masih perlu dielaborasi lagi. Kami berharap pihak Kemendag dapat memberikan perpanjangan waktu agar kami dapat memberikan masukan yang substansial dan terbaik bagi dokumen yang sangat krusial terhadap masa depan industri e-commerce nasional ini,” tutur Daniel yang juga menjabat sebagai CEO OLX Indonesia ini.

“Mati atau majunya industri akan ditentukan saat ini!” pungkasnya.

(ash/ash)
Labels: RPP e-Commerce

Thanks for reading RPP e-Commerce yang Bikin Gemes. Please share...!

0 Komentar untuk "RPP e-Commerce yang Bikin Gemes"

Back To Top