-->
Motivasi Menulis
Bisnis Online

Sebuah Catatan, Tujuan Hukum itu Mulia untuk Melindungi Masyarakat

Bhredipta Cresti Socarana, - detikNews
 Sebuah Catatan, Tujuan Hukum itu Mulia untuk Melindungi Masyarakat 
Foto: istimewa

 Amsterdam - Merasakan kuliah di negeri yang merupakan asal dari mayoritas sumber hukum kita mungkin terasa kurang nasionalis di telinga sebagian orang. Mengingat bahwa negeri itu adalah negeri yang selama kurang lebih 350 tahun mempermainkan kita dalam hubungan dagang, eksplorasi, dan eksploitasi sumber daya alam kita. Bahkan, banyak barang barang bersejarah kita yang masih tersimpan di sini.

Namun, saya tidak mungkin secara naif menyatakan bahwa negara ini, yang paling banter besarnya separuh dari pulau terbesar negara kita, adalah negara yang paling buruk. Memang negara ini adalah negara yang telah membuat sengsara nenek moyang kita ber ratus ratus tahun lamanya. Namun di balik pahit dan buruknya hubungan sejarah kita di belanda, ada yang hal sangat menarik yang saya pelajari selama enam bulan waktu saya belajar di Leiden University.

Ada yang mengetuk dan menyentuh saya, menyadarkan saya tentang arti dari belajar hukum itu sendiri. Iya, negara yang sudah jauh mengenal industri pengepakan keju ini sejak kapal laut masih dibuat dari kayu, tidak dapat dipungkiri sudah jauh lebih mutakhir sistem hukumnya dari kita.

Ketika Kitab Undang Undang Hukum Pidana kita masih menggunakan apa yang mereka “wariskan” dengan sistem tambal sulam melalui pembuatan undang undang yang baru, di sini KUHP mereka sudah lebih dari dua kali di mutakhirkan. Diikuti dengan kemutakhiran lain yang tidak hanya menunjang agar para praktisi hukumnya dapat menegakkan hukum dengan baik, namun juga untuk memberikan rasa aman, nyaman dan memberikan kepastian hukum yang baik. Singkatnya, membentuk masyarakat yang tertib dan nyaman.

Termasuk pula dengan sistem penggodokan mereka yang nantinya akan menjadi praktisi-praktisi hukum. Di kelasnya, suasana diskusi betul betul hidup, bahkan terkadang saya merasa malu, dan tertinggal ketika betul-betul diam tidak berkutik, tidak bertanya sama sekali atau mengemukakan pendapat, sehingga harus ditunjuk oleh dosen untuk bersuara.

Di sini mahasiswanya dirangsang untuk berpikir kritis, untuk terus bertanya, terlepas apakah mereka akan mendapat poin atau tidak nantinya, terlepas apakah mereka menanyakan sebuah pertanyaan atau mengungkapkan pernyataan yang tepat. Argumentasi antar mahasiswa dengan mahasiswa lainnya, mahasiswa dan dosen tetap bisa diarahkan ke arah yang konstruktif, sehingga membentuk dan mengasah kepekaan mahasiswa yang diajar, sehingga mahasiswanya tahu bagaimana mereka harus memperlakukan hukum dan bagaimana mereka harus diperlakukan hukum.

Saya kagum, di sini hukum diperlakukan layaknya ilmu lainnya, ilmu yang nantinya akan digunakan untuk masyarakat sekitar, ilmu yang bisa diterapkan di kehidupan nyata, ilmu yang bukan hanya untuk diri sendiri atau kalangan tertentu namun semua lapisan mereka yang membutuhkan, dan ilmu yang bukan hanya sekadar menghapal undang undang. Hey, hukum juga ilmu kan? Hukum tidak hanya sebatas undang-undang, legislasi dan kasus semata tho?

Lebih jauh di kelas Law and Governance in Asia percayalah kalau bukan karena teman saya dari Australia yang mengajak dan memberitahu bahwa ini kelas yang sangat asik saya mungkin tidak akan ikut kelas ini yang diajar Mas Adriaan Bedner, seorang dosen Leiden yang menaruh perhatian besar terhadap sistem hukum Indonesia.

Saya dibukakan mata, diperjelas, bahwa iya, hukum memang terdiri atas sekumpulan tebal undang undang, putusan pengadilan yang luar biasa bikin kepala pusing, perjanjian perjanjian, dan sederet prinsip prinsip dasar lainnya yang selalu membayangi dan bisa membuat saya tertidur lelap ketika saya melaksanakan ujian saya.
Namun, saya diingatkan bahwa tujuan hukum jauh lebih mulia dari itu, saya diajarkan bahwa hukum itu harusnya dapat berguna untuk masyarakat luas, dapat melindungi semua masyarakat. Di mana hukum, seharusnya diajarkan dengan hati yang hangat, dan pemikiran yang kritis, untuk dapat memikirkan bagaimana hukum itu harusnya diaplikasikan.

Di mana pemikiran kritis itu bukan hanya sebuah pemikiran yang membentuk argumen dengan dasar yang kuat, dan dapat membuat lawan kita bertekuk lutut di hadapan majelis hakim yang mulia dengan berberkal berkas peradilan yang mungkin karena begitu tebalnya bisa dipakai jadi meja makan bakso, atau bahkan harus dibawa dengan gerobak sodor yang biasa dipakai untuk angkut batu bata dan bahan bangunan.
Di mana kemampuan untuk menganalisa itu bukan hanya semata mata digunakan untuk mencari kelemahan lawan dan menjadikannya senjata kita untuk semata mata agar kita dapat membuat hukum layaknya berdiri di sisi kita.

Di sini saya diajarkan bukan undang undangnya yang harus dihayati, bukan. Namun pola perilaku masyarakat lah yang harus di hayati, diamati dengan seksama, baru kita dapat menerapkan hukum yang ada. Dengan cara menjelaskan kepada mahasiswa bagaimana keadaan di lapangan, fakta yang ada, bagaimana keadaan sebuah pola perilaku masyarakat yang akan diterapkan suatu hukumnya dan lain sebagainya yang menunjang pemahaman mahasiswa bagaimana hukum itu diperlakukan sebelum menjejalkan prinsip prinsip dasar hukum itu.

Pengajaran itulah yang saya amati betul-betul diterapkan di sini. Tidak hanya satu kelas, namun kesemua kelas yang saya ambil menerapkan pola demikian. Entah itu kelas yang berkaitan dengan hukum dagang, hingga kelas yang mengatur satelit dan eksplorasi bulan (ya bahkan penggunaan bulan pun ada hukumnya). Ya, hukum benar benar menjelma bagaikan sebuah ilmu ajaib, dan super sakti di sini.
Saya pun tersadar, apakah betul, saya sudah menjadi mahasiswa hukum yang siap menjadi sarjana hukum yang bisa mengaplikasikan hukum kepada masyarakat dengan baik? Atau saya hanya akan menjadi anak undang-undang yang ketimbang mampu untuk menerapkan dan mengaplikasikan hukum kepada masyarakat dengan baik, malah saklek dengan undang undang yang ada? Apakah nantinya saya akan menjadi seorang sarjana hukum yang tidak dapat meraba apa yang sejatinya masyarakat rasakan? Apakah benar saya sudah menjadi anak hukum? Atau saya hanya menjadi anak yang dipaksa menghapal buku karena takut akan selembar file internet yang bertuliskan A-F ?

Apakah saya, kamu, kalian siap menjadi sarjana hukum yang dapat menjadikan hukum kembali memberikan rasa aman di kala masyarakat tertidur lelap, hukum yang menjamin bahwa besok pagi orang lain akan tetap bisa menyapa teman dan sanak saudara mereka, tanpa harus khawatir tiba tiba seseorang akan masuk mendobrak dan merusak pagi mereka. Itu kan harusnya hukum?

Apa betul, life as a law students, yang saya, dan banyak dari teman teman saya gembar-gemborkan memang sudah akan dapat berguna dan sesuai untuk masyarakat? Apakah pelatihan yang kami dapatkan sudah siap mengemban amanah ilmu hukum yang begitu berat? Atau itu hanya sebuah polesan artifisial semata? Ketika teriakan teriakan pembelaan kita atas nama rakyat demi tegaknya hukum hanya akan menguap ketika KTM berubah menjadi Kartu Alumni? Ketika ribuan jam yang kita gunakan untuk mengolah kasus, melakukan riset tugas, mengamati bagaimana sebuah peradilan berjalan hanya akan menguap menjadi kertas bertuliskan ijazah dan nilai semata, namun tidak membukakan hati dan pikiran kita tentang amanah yang diemban pada kita sebagai sarjana hukum.

Bukan berarti tulisan ini mendiskreditkan bidang hukum tertentu, atau mendewakan bidang hukum tertentu. Bukan pula untuk mendiskreditkan almamater yang saya cintai. Percayalah, saya sangat cinta almamater saya. Semata mata tulisan ini saya tujukan sebagai upaya refleksi untuk mengetuk pintu hati teman teman saya yang baru saja menggunakan toga, sedang berusaha untuk enggunakan toga, atau pun siapapun anak hukum yang membaca ini untuk kembali ke akar kita sebagai anak hukum. Yaitu membuka mata, hati dan pikiran terhadap tujuan hukum yang kita pelajari.
Jangan pernah berdalih bahwa kampus tercinta kita tidak memfasilitasi, jangan berdalih bahwa tugas tugas kita membutakan kita. Kepekaan dan kemahiran kita membaca fakta masyarakat bukan dosen atau kurikulum yang menentukan. Tapi teman teman sendiri lah yang menentukan, seberapa siap teman teman memperlakukan hukum dan ingin di perlakukan hukum. Teman teman lah yang akan menentukan seperti apa rupa hukum kita, di depan kawan kawan lainnya yang tidak mengecap pendidikan hukumnya.

Teman-teman lah yang menentukan seberapa jauh hukum akan disanjung dan dipercaya, atau malah dihujat dan dhina. Teman teman lah yang akan menentukan besar kepercayaan orang orang terhadap status anak hukum yang pernah di sandang. Mungkin, secara simpel, refleksi diri sendiri sembari berkata “Ah yang bener kita anak hukum?” cukup membantu sebagai awal.

*) Bhredipta Cresti Socarana, Faculty of Law University Gadjah Mada, Yogyakarta dan Exchange Student Leiden University
Labels: Sebuah Catatan, Tujuan Hukum itu Mulia, Untuk Melindungi Masyarakat

Thanks for reading Sebuah Catatan, Tujuan Hukum itu Mulia untuk Melindungi Masyarakat. Please share...!

0 Komentar untuk "Sebuah Catatan, Tujuan Hukum itu Mulia untuk Melindungi Masyarakat"

Back To Top