-->
Motivasi Menulis
Bisnis Online

Ditjen Pajak akan bentuk satgas pajak fiktif


Ditjen Pajak akan bentuk satgas pajak fiktif
Kemenkeu (istimewa)
Jakarta (ANTARA News) - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kantor Wilayah Jakarta Selatan akan membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengatasi penggunaan faktur pajak fiktif.

"Kami sangat prihatin karena banyak wajib pajak yang menggunakan faktur pajak bodong sehingga merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah," kata Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan Kanwil DJP Jaksel, Agus Satria Utama di Jakarta, Kamis.
Upaya yang dilakukan adalah memanggil seluruh wajib pajak nakal pemakai faktur pajak bodong tersebut.

Pembentukan satgas tersebut merupakan wujud keseriusannya dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Upaya tersebut, akata dia, peringatan kepada wajib pajak bahwa tindakan tersebut kasus pidana.

"Kami akan lakukan pemanggilan wajib pajak pengguna faktur pajak fiktif dalam waktu dekat. Jika mereka kooperatif, mengakui perbuatannya dan membetulkan SPT serta membayar kewajiban dengan benar, tidak akan ada tindakan penyidikan," katanya.

Akan tetapi, jika wajib pajak tersebut melawan, pihaknya siap memproses kasus tersebut ke tahap penyidikan karena sudah masuk ranah pidana akibat membobol uang negara.

Menurut dia, sejauh ini penggunaan e-faktur atau faktur elektronik berdampak luar biasa mengurangi maraknya faktur pajak fiktif.
"Sayangnya, masih ada wajib pajak yang coba membobol sistem e-faktur," katanya.
(I025/D007)
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2015
Labels: Akan bentuk, Ditjen Pajak, Satgas pajak fiktif

Thanks for reading Ditjen Pajak akan bentuk satgas pajak fiktif. Please share...!

1 komentar on Ditjen Pajak akan bentuk satgas pajak fiktif

  1. Ayo dukung DJP memberantas WP-WP Nakal. .
    Akan tetapi harus mendefinisikan secara tegas apa yang dimaksud dengan fiktif atau transaksi tidak sebenarnya disini. Definisi yang terlalu luas bisa menyebabkan WP normal dan patuh yang sebenarnya hanya menjadi 'korban'.,akhirnya bisa ikut menjadi tersangka. Harusnya definisi yang benar adalah transaksi fiftif yang didasarkan jumlah kerugian negara yang ditimbulkan. Umumnya DJP enggan berpikir analitis dengan empati memposisikan dirinya sebagai pelaku usaha dan kadang bertindak sewenang-wenang menghukum WP yang sebenarnya kooperatif dan melangsungkan usahanya secara normal, namun menjadi korban para penjahat pajak penerbit FP fiktif ini.
    Salah satu contohnya adalah perusahaan membutuhkan produk tertentu yang tidak diproduksi di Indonesia dan harus impor demi kelangsungan produksinya, namun tidak memiliki ijin impor. Sudah menjadi rahasia umum jika mengurus ijin impor terkenal sangat berbelit-belit dan multi sektoral, apalagi ketika mengurus NIK ke bea cukai, butuh energi besar, waktu, dan tentunya biaya yang tidak sedikit. Di saat banyak tawaran iklan di koran, media online, bahkan tawaran langsung via email untuk mengurus jasa impor, kepabeanan, dan pinjam nama untuk impor (Under name), tentunya ini merupakan solusi instan bagi perusahaan yang ingin melakukan pembelian barang di luar negeri. Apalagi perusahaan ini juga legal dan membayar PPN impor, PPH, dan BM , dan bisa menerbitkan faktur pajak sesuai dengan besaran nilai yang ditransaksikan, dan selanjutnya mereka melaporkan SPT tersebut. Dari kacamata perusahaan transaksi ini dianggap sah dan normal, namun dari kacamata DJP ini dianggap melanggar undang-undang dengan ancaman pidana, meskipun perusahaan sebenarnya adalah korban dan secara riil tidak ada pajak yang tidak dibayarkan, alias tidak ada kerugian negara disini. Perihal pajak penghasilan perusahaan yang menawarkan jasa impor, pinjam bendera, dan jasa kepabeanan, itu adalah urusan DJP dengan perusahaan yang bersangkutan, dan tentunya akan melewati beberapa pos pemeriksaan setiap tahunnya. Jika perusahaan seperti ini terbukti ilegal, kenapa sampai detik ini masih bisa beroperasi dan menerbitkan faktur pajak meskipun sekarang sistemnya sudah Online. Sampai detik ini masih marak perusahaan jasa seperti ini yang beroperasi di indonesia tanpa ada tindakan dari DJP maupun aparat yang berwenang.

    ReplyDelete

Back To Top