-->
Motivasi Menulis
Bisnis Online

Din Syamsuddin: Kader Muhammadiyah Tak Harus Jadi Menteri

Din Syamsuddin: Kader Muhammadiyah Tak Harus Jadi MenteriPASTI LIBERTI MAPPAPA - detikNews

 Jakarta - Membangun komunikasi antarumat beragama, mempromosikan perdamaian dunia, dan "jihad konstitusi" merupakan sedikit kiprah menonjol yang diperankan Profesor Din Syamsuddin selama dua periode, 2005-2010 dan 2010-2015, memimpin Muhammadiyah.

Kiprah Din di kancah internasional antara lain bisa dilihat ketika dia diterima sebagai pembicara mewakili umat Islam di konferensi tentang agama dan lingkungan hidup di Vatikan, akhir April 2015. Sepak terjangnya dalam menggerakkan elemen masyarakat madani muslim untuk mengoreksi sejumlah undang-undang yang berpotensi bertentangan dengan UUD 45 ke Mahkamah Konstitusi juga membuahkan hasil cukup baik.

Mahkamah membatalkan sejumlah pasal pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Ada tiga undang-undang lain juga sedang dalam proses judicial review di MK, yakni Undang-Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, serta Undang-Undang No. 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Tak aneh bila pada awal Mei lalu Republika menganugerahinya sebagai salah satu "Tokoh Perubahan 2015".

Di luar itu, Muhammadiyah di bawah Din cukup pandai menjaga jarak dengan kekuasaan. Meski begitu, ada banyak kadernya yang duduk di dalam kabinet Presiden Joko Widodo tanpa resmi membawa bendera Muhammadiyah.
 

"Resminya cuma Menteri Kesehatan Ibu Prof Nila Moeloek. Tapi orang seperti Anies Baswedan, Saleh Husin, Andrinof Chaniago, Ferry Mursyidan Baldan, Siti Nurbaya, social origin-nya juga adalah Muhammadiyah. Ya, kami dorong saja mereka bekerja dengan baik dan benar," ujar Din saat berbincang dengan majalah detik di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Rabu 8 Juli 2015 petang lalu.
 

Berikut ini petikan perbincangan selengkapnya:

Apa saja capaian Muhammadiyah dalam dua periode kepemimpinan Anda?

Pencapaian selama kurun waktu 10 tahun terakhir antara lain Muhammadiyah mulai mempertajam perhatiannya pada kelompok yang disebut agama mustadhafin atau orang-orang yang tidak diuntungkan dalam proses modernisasi dan pembangunan, seperti buruh, tani, nelayan, yang menjadi miskin bukan karena kemiskinan kultural, melainkan karena struktural.
 

Kami juga membentuk MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center), yang hadir dan berbuat di hampir setiap bencana alam, baik dengan medical team maupun SAR. Lalu ada tim rekonstruksi dan rehabilitasi. MDMC juga pernah ke Gaza, Filipina ketika ada taifun Haiyan, dan terlibat di Nepal. Mereka bisa bekerja dengan operasi serupa dari agama lain, seperti Catholic Relief Service, World Vision, dan lain sebagainya.

Di bawah Anda, Muhammadiyah juga aktif menjalin komunikasi lintas agama, ya?

Kami memang dua tahun sekali memprakarsai World Peace Forum sejak 2006, yang mengundang tokoh-tokoh dunia. Tidak hanya tokoh agama, tapi juga tokoh politik dan intelektual. Dalam konteks itu, Muhammadiyah aktif dalam perdamaian dunia dengan menjadi anggota International Contact Group for Peace Process di Mindanao antara pemerintah Filipina dan Moro Islamic Liberation Front.

Kalau ke depan, tantangannya seperti apa?

Ada tantangan baru, ada dinamika zaman, ada perubahan, baik dalam skala nasional Indonesia maupun perkembangan pada tataran global, serta kebangkitan Asia Timur yang membawa arus liberalisasi politik, ekonomi, budaya, maka Muhammadiyah harus melakukan penyesuaian diri.
 

Sosok seperti apa yang dibutuhkan guna menghadapi tantangan itu?

Kepemimpinan Muhammadiyah itu kolektif kolegial, ada 13 orang sehingga bisa saling mengisi. Tinggal nanti dari 13 orang itu memilih siapa yang dimajukan selangkah dan ditinggikan seranting untuk menjadi ketua umum. Ketua umum memang haruslah figur yang memiliki pemahaman tentang agama Islam, tapi tidak harus dalam pengertian ulama, hanya orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang fikih atau hukum Islam.  


Kiai Ahmad Dahlan seabad lalu sudah mengusulkan dan menggagas agar pemimpin Muhammadiyah itu terdiri atas ulama intelek yang bisa membaca tidak hanya ayat-ayat Quraniyah, ayat-ayat qauliyah, yaitu kitab suci, tetapi juga ayat-ayat kauniyah, yakni alam semesta, termasuk sosial, ekonomi, politik.
 

Kedua, anggota pimpinan Muhammadiyah itu perlu memiliki kapasitas sebagai leader dan manajer karena organisasi ini sudah besar dan bahkan dililit oleh birokratisasi. Karena kolektif kolegial, dia harus mampu bekerja dalam tim dan perlu ada kemampuan untuk memposisikan organisasi, baik secara nasional maupun internasional.
 

Oh iya, Muhammadiyah juga aktif menggugat sejumlah undang-undang di Mahkamah Konstitusi....

Kalau itu dianggap sebagai capaian, mungkin iya, mungkin juga tidak. Karena, menurut Muhammadiyah, itu sudah semestinya. Muhammadiyah terlibat dalam pembentukan negara ini lewat tokoh-tokohnya, harus bertanggung jawab pada masa depan bangsa. Makanya, itu merupakan manifestasi komitmen Muhammadiyah untuk mengawal NKRI, yang berdasarkan Pancasila dan terutama ketika Reformasi terdapat sejumlah UU yang bertentangan dengan konstitusi, maka gerakan jihad konstitusi ini merupakan amar makruf nahi mungkar.

Sampai kapan Muhammadiyah akan melakukan jihad konstitusi?

Kami sudah memulainya sejak 2009 setelah ada pengkajian dari tim pakar Muhammadiyah yang jumlahnya hampir 20 orang. Disimpulkan adanya distorsi deviasi kehidupan dan cita-cita nasional kita ini. Sangat serius dan berbahaya. Oleh Muhammadiyah, cita-cita nasional ditafsirkan secara kontekstual menjadi Indonesia yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Ternyata, untuk mencapai itu pada konstitusi yang diamendemen dan turunannya undang-undang apalagi di peraturan pemerintah, ada gejala distorsi, deviasi tadi. Ini sangat berbahaya.

Misalnya saja jihad konstitusi terhadap UU Migas yang sebagian pasalnya kemudian dibatalkan oleh MK. Kemudian UU Sumber Daya Air. Tidak akan ada kemakmuran rakyat jika regulasinya tidak direvisi. Ada UU lain, tapi ini untuk kepentingan organisasi, seperti UU Ormas, karena waktu itu mau membalikkan arah jarum jam ke arah otoritarianisme dan kita kritik. Ada juga UU yang spesifik untuk kepentingan Muhammadiyah, seperti UU Rumah Sakit, yang tidak membolehkan Muhammadiyah mendirikan rumah sakit baru.

Sekarang ini kami juga sudah ajukan Rancangan UU Sistem Lalu Lintas Devisa, Penanaman Modal karena banyak sekali devisa yang terbawa lari, dan RUU Ketenagalistrikan. Karena jihad konstitusi untuk meluruskan kiblat bangsa, tentu tidak boleh berhenti hanya karena ada pergantian pimpinan pusat. Upaya ini sangat melelahkan. Satu judicial review itu butuh waktu setahun.
 

Memang ada tim khusus yang menguji tiap undang-undang, ya?

Tim ini didukung tiga organ, yakni Majelis Hukum dan HAM, Litbang, dan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik. Biasanya saya terjun langsung memimpin rapat-rapatnya. Berbagai Universitas Muhammadiyah juga mendukung. Ketika persidangan di MK, kami siapkan advokat, antara lain dari dosen fakultas hukum.
 

Kami juga memperluas para pakar yang concern dan punya pemikiran yang tegas tentang masalah Pasal 33 UUD 1945, seperti Rizal Ramli, Hendri Saparini, Edi Swasono, Kwik Kian Gie. Untuk memperluas dukungan sosial-politik, kami juga mengajak ormas lain dan lintas agama. Ini harus menjadi gerakan bersama. Muhammadiyah mungkin hanya menjadi inisiator dan leading sector. Jihad konstitusi ini adalah gerakan rakyat Indonesia.  

Terkait penentuan awal Ramadan dan Idul Fitri, kenapa Muhammadiyah selalu mendahului pemerintah?

Untuk mengetahui hal itu memang sudah bisa diketahui sejak jauh hari, 100 tahun, 1.000 tahun. Karena, ilmu yang dapat kita manfaatkan itu sangat eksak, yakni ilmu falak atau ilmu tentang jagat raya yang berbasis fisika, astronomi, dan matematika. Kapan mengawali Ramadan dan mengakhirinya ini ada dimensi ibadat.  

Karena ada hadis, "Kalau kamu sudah yakin kapan Ramadan datang, kamu wajib berpuasa. Kalau kamu sudah yakin awal Syawal datang, maka haram berpuasa." Maka itu, penetapan ini bukan main-main, tapi ada dasar-dasarnya. Baik dalil naqli dari Alquran atau hadis maupun dalil akli atau alasan rasional.

Memang rujukan hadis antara Muhammadiyah dan sebagian ormas Islam, seperti NU (Nahdlatul Ulama), berbeda. Mereka memakai hadis, "Kalau tidak kelihatan (hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan itu." Maksudnya tentang pertanda bulan lama berakhir dan bulan baru datang yang, sayangnya, datangnya ijtimak itu tidak genap 30 atau 29 hari, tapi 29,5 hari. Ini yang membuat kadang-kadang puasa itu 29 hari atau genap 30 hari. Kami sendiri mempelajari Rasulullah Muhammad itu, selama 9 tahun berpuasa, 7 kali hanya 29 hari Ramadan-nya, 2 kali 30 hari.

Meski sudah menentukan Idul Fitri, Muhammadiyah akan datang di sidang isbat?

Dari awal, Muhammadiyah terus hadir, kecuali satu-dua tahun sewaktu Menteri Agama Suryadharma Ali. Karena, kami menilai kala itu ada politisasi rapat isbat. Misalnya memanfaatkan astronom Profesor Thomas Djamaluddin dan terkesan membela Kementerian Agama. Ini yang tidak elok. Apalagi Prof Thomas secara terbuka menyalahkan Muhammadiyah. Itu sangat tidak etis.

Rapat isbat, menurut saya, basa-basi menjelaskan ketinggian bulan oleh para pakar, lalu diskors untuk salat magrib dan makan malam. Lalu dibuka lagi menunggu laporan pemantau hilal yang disebar pemerintah. Baru nanti diumumkan, dari sekian banyak pemantau di berbagai titik, tidak ada yang melihat hilal. Itu yang dijadikan basis dari perdebatan pembahasan.  

Pada hemat saya, perlu diubah pendekatannya. Mari habis-habisan kita berdiskusi dengan dalil, kita kaji, adu argumen, baru nanti kita putuskan. Seyogianya, pemerintah mengayomi semua. Karena ini sifatnya ibadat dan dijamin konstitusi, sebaiknya putusan tidak pada pemerintah. Muhammadiyah membuka diri pertemuan dengan Lajnah Falakiyah NU. Tapi memang susah ketemunya antara seeing is believing dan knowing is believing.
 

Terkait rencana reshuffle kabinet, Muhammadiyah menyiapkan kader?

Muhammadiyah menyadari dirinya tidak sebagai organisasi politik dan tidak melakukan politik kekuasaan. Dalam afiliasi politik, kami beri kebebasan pada setiap anggota (untuk) bergabung dalam parpol mana pun. Dalam hal politik kekuasaan dalam pilpres, pemilihan gubernur, wali kota dan/atau bupati, kita secara organisatoris tidak terlibat. Maka, apa pun putusan dari pemangku amanat, kita tidak ikut-ikut, kecuali kalau diminta.
 

Pada awal Pak Jokowi meminta nama untuk Menkes, kami ajukan nama Profesor Nila Moeloek. Tapi banyak juga menteri yang, menurut pengakuan mereka, masing-masing social origin-nya Muhammadiyah, seperti Anies Baswedan, Saleh Husin, Andrinof Chaniago, Ferry Mursyidan Baldan, Siti Nurbaya. Ya, kami dorong saja mereka bekerja dengan baik dan benar.
 

Kami pernah sampaikan pada Pak Jokowi malam sebelum pelantikan, Muhammadiyah tidak harus diakomodasi sebagai menteri, asal jangan menteri menghalangi Muhammadiyah berkontribusi bagi bangsa dan negara. Itu pernah terjadi pada era SBY. Ada menteri yang menghalangi Muhammadiyah, sekian Universitas Muhammadiyah tidak diberi izin. Ini kan buruk, yang rugi kan negara.

Anda tidak diminta?

Tidaklah. Biasanya, di Muhammadiyah itu, yang jadi menteri (adalah) wakil ketua. Dulu saya diminta jadi Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) juga tidak bisa karena masih menjabat. Maka diambil Pak Malik Fadjar. Tidak tahu ini kalau sudah selesai.

***

Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 191, 27 Juli 2015). Edisi ini mengupas tuntas "Skandal SPBU Paspampres". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional "Waspada Ambles Jakarta", Internasional "Intel Saddam di Balik ISIS", Ekonomi "Tak Ada Indonesia, Malaysia pun Jadi", Gaya Hidup "Kurangi Kantong Plastik, Yuk", rubrik Seni Hiburan dan review Film "The Gunman", serta masih banyak artikel menarik lainnya.

Untuk aplikasinya bisa di-download di apps.detik.com dan versi Pdf bisa di-download di www.majalah.detik.com. Gratis, selamat menikmati!!


(pal/nwk)
Labels: Din Syamsuddin

Thanks for reading Din Syamsuddin: Kader Muhammadiyah Tak Harus Jadi Menteri. Please share...!

0 Komentar untuk "Din Syamsuddin: Kader Muhammadiyah Tak Harus Jadi Menteri"

Back To Top